Diskon Hukuman Setya Novanto: MA Dituding Obral Keadilan bagi Koruptor Kakap

Jakarta, otoritas.co.id – Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi sorotan setelah memangkas hukuman terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara. Putusan melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) ini menuai kritik pedas dari Center for Budget Analysis (CBA), yang menilai hukum di Indonesia dapat dinegosiasikan bagi para “tokoh besar” dengan jejaring kuat.
Koordinator CBA, Jajang Nurjaman, menyebut putusan MA ini sebagai pelecehan terhadap rasa keadilan publik dan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi. “Bayangkan, korupsi triliunan rupiah cukup ditebus dengan diskon 2,5 tahun. Mungkin inilah yang disebut keadilan premium untuk koruptor kelas kakap,” sindir Jajang pada Jumat (4/7).
Menurut CBA, pengurangan hukuman ini berpotensi melanggar prinsip dasar penegakan hukum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bertentangan dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara. CBA berpendapat keadilan tampaknya hanya berlaku bagi masyarakat biasa, bukan bagi koruptor elit yang mampu “menegosiasikan” hukum melalui berbagai celah.
Potongan hukuman atas nama “bukti baru” dalam PK, menurut CBA, seharusnya tidak menjadi karpet merah untuk mempercepat pembebasan koruptor. Jika praktik ini terus dibiarkan, efek jera terhadap koruptor akan menguap, dan publik akan semakin apatis terhadap sistem hukum yang dianggap tidak netral.
“Jangan-jangan setelah ini Setya Novanto bisa kembali ke panggung politik, sementara rakyat terus menderita akibat pelayanan publik yang rusak karena korupsi yang ia lakukan,” tambah Jajang.
CBA juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak berdiam diri melihat tren pengurangan hukuman ini. CBA menilai hal ini sebagai pukulan telak terhadap semangat pemberantasan korupsi dan membahayakan persepsi publik terhadap supremasi hukum.
“Ini bukan sekadar diskon hukuman, ini adalah preseden berbahaya. Di negara yang masih darurat korupsi, langkah MA ini justru membuka ruang bagi pembusukan sistem hukum dari dalam,” tegasnya. CBA juga mengingatkan bahwa Pasal 4 UU Tipikor secara tegas menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana, namun logika ini dinilai tidak berlaku bagi koruptor kelas berat.