18 Juli 2025

SAAT DUNIA BERPUTAR DEMI REMPAH NUSANTARA

1
IMG-20250704-WA0026

Resensi Buku: Rempah-Rempah: Persaingan dan Perebutan pada Abad ke-16 yang Membentuk Dunia Modern

Penulis: Roger Crowley
Penerbit: Alvabet
Edisi: Pertama, 2024
ISBN: 978-623-220-182-8
Resensor: Ryo Disastro

Apa yang mendorong bangsa-bangsa besar Eropa menyeberangi samudra luas, melawan badai, kelaparan, penyakit, dan kematian? Bukan emas, bukan minyak. Melainkan cengkih dan pala, dua rempah harum yang tumbuh subur di kebun-kebun rakyat Maluku. Rempah-rempah inilah yang pernah menjadikan Nusantara pusat semesta. Ironisnya, di era modern ini, kita lebih sering mengingat tanggal diskon belanja daring daripada fakta bahwa dunia yang kita kenal sekarang lahir dari perebutan atas tanah kita sendiri.

Inilah inti yang dibongkar habis oleh Roger Crowley dalam bukunya, “Rempah-Rempah: Persaingan dan Perebutan pada Abad ke-16 yang Membentuk Dunia Modern.” Crowley tak hanya menulis sejarah; ia menyulut kesadaran bahwa bangsa kita pernah diperebutkan, dijarah, dan dilukai demi kekayaan yang kini sering kita anggap remeh.

Buku ini bukanlah catatan sejarah biasa. Ia mengupas sisi paling kelam, liar, dan jujur dari penjelajahan Eropa ke Timur. Di balik narasi “penemuan dunia baru” yang sering kita dengar, tersembunyi kenyataan pahit: kapal karam, badai mematikan, wabah penyakit, kanibalisme, hingga pembunuhan demi sejumput rempah. Crowley menulis dengan gaya yang hidup dan menyayat, menyeret kita ke dalam petualangan penuh ambisi, pengkhianatan, dan pertumpahan darah.

Keistimewaan buku ini terletak pada keberanian penulisnya dalam mengangkat nama-nama yang jarang muncul di buku pelajaran sejarah kita: Francisco Serrao, navigator Portugis yang lebih dulu menjejak Maluku daripada Magellan; Sebastian Cabot, penjelajah utara; Tanegashima Tokitaka, samurai yang memperkenalkan senjata api di Jepang; hingga Enrique de Moluccas, budak Melayu yang diduga menjadi manusia pertama yang mengelilingi bumi. Tak ketinggalan, Jan Huygen van Linschoten—pengkhianat besar yang membocorkan rahasia dagang Portugis kepada Belanda, membuka jalan bagi VOC untuk menjajah negeri ini berabad-abad lamanya.

Crowley juga memetakan bagaimana jaringan perdagangan global mulai terbentuk saat itu: rempah-rempah dari Nusantara berpindah tangan bersama perak dari Meksiko, porselen Tiongkok, gandum Eropa, dan budak dari Afrika. Dunia mulai berputar dalam orbit yang digerakkan oleh komoditas, dengan Nusantara sebagai jantungnya.

Namun, semua kejayaan itu datang dengan harga yang mahal. Buku ini tak menutupi luka sejarah. Justru menampilkannya secara gamblang: kerusakan ekologi akibat eksploitasi, hancurnya budaya lokal, pemaksaan agama, hingga perbudakan terhadap penduduk asli. Ini adalah bab sejarah yang sering disapu di bawah karpet, namun Crowley menariknya ke tengah panggung. Dan kita—bangsa yang menjadi korban sekaligus saksi—harus berani menatapnya.

Membaca buku ini bukan sekadar menyerap informasi. Ini adalah tindakan politis, sebuah ajakan untuk sadar, bangkit, dan menghargai warisan sejarah kita sendiri. Rempah-rempah bukan hanya bumbu. Ia adalah darah dan air mata. Ia adalah komoditas yang menggerakkan dunia—dan mengguncang sejarah. Hari ini, ketika kita mengeluh soal harga cabai dan lada, kita lupa bahwa nenek moyang kita pernah menjadi poros dunia karena aromanya. Dan kita juga lupa bahwa kekuatan itu bisa kita rebut kembali—asal kita mau mengingat.

Apresiasi tinggi saya sampaikan kepada penerjemah buku ini yang berhasil membuat tulisan Crowley menjadi akrab dan renyah dibaca oleh kita, rakyat Indonesia. Buku ini wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami mengapa dunia modern berdiri di atas jejak-jejak perlawanan dan pengkhianatan di tanah air kita. Jangan tunggu jadi korban kedua. Sejarah yang dilupakan hanya akan melahirkan penjajahan yang diulang.

1 thought on “SAAT DUNIA BERPUTAR DEMI REMPAH NUSANTARA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *