18 Juli 2025

EKONOMI PANCASILA: MANDAT KONSTITUSI YANG DIKHIANATI

0
FunPic_20250703_155927073

Oleh: Yudhie Haryono (Rektor Universitas Nusantara) & Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

 

OTORITAS.co.id – Kita perlu kembali ke jati diri sebagai bangsa. Salah satu jati diri tersebut adalah Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi ini bukan hanya tentang distribusi sumber daya atau penumpukan kekayaan. Lebih dari itu, ia adalah cerminan nilai-nilai yang kita anut sebagai bangsa. Dalam konteks Indonesia, Ekonomi Pancasila bukan sekadar pilihan ideologis tambahan, melainkan amanat konstitusi yang bersifat konstitusional, rasional, dan nyata.

Para pemikir besar bangsa ini selalu menekankan bahwa sistem ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip spiritualitas, kemanusiaan, keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan kolektif. Bukan sekadar pertumbuhan kuantitatif yang berorientasi pada kepentingan pribadi, pasar, atau nafsu kekuasaan. Tanpa kesadaran ideologis ini, sejarah kita menunjukkan pergeseran: dari “kekayaan bangsa” menjadi “kekayaan individu” (akibat pengkhianatan aparat negara), lalu menjadi “kekayaan kelompok/geng” (akibat kudeta konstitusi).

Gagasan Ekonomi Pancasila menolak kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme totaliter yang menuntut kepatuhan. Ia menawarkan jalan tengah yang menggabungkan demokrasi ekonomi dengan partisipasi masyarakat melalui koperasi dan penguasaan strategis oleh negara (BUMN) untuk kepentingan umum. Dari sinilah lahir prinsip dasar Ekonomi Pancasila: sebuah sistem ekonomi nasional yang menjunjung tinggi moralitas, solidaritas, dan kedaulatan warga negara atas ekonominya sendiri.

Pemikiran ekonomi berbasis Pancasila mengingatkan kita bahwa Indonesia tidak bisa diatur hanya dengan teori neoklasik Barat. Ekonomi Pancasila lahir dari realitas sosio-kultural bangsa Indonesia, bukan tiruan model kapitalistik yang membungkus ketimpangan dengan dalih efisiensi. Sistem ini menekankan peran aktif negara dan warga negara dalam menjamin keadilan distributif dan menolak liberalisasi ekonomi yang mengorbankan kepentingan rakyat. Tanpa dimensi etika dan keberpihakan, pembangunan ekonomi akan menjadi mesin akumulasi yang justru menciptakan ketimpangan antarwilayah dan antarwarga negara.

Secara filosofis, hidup dan ekonomi kita tidak bisa sepenuhnya diajari oleh pemikiran dan tindakan orang luar. Semua berlandaskan pada fondasi jiwa-jiwa leluhur kita. Inilah pentingnya “sistem sendiri” dalam berindividu, bermasyarakat, dan bernegara. Inilah keniscayaan Pancasila dan konstitusi asli yang luar biasa, karena merangkum jati diri dalam berekonomi serta dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam).

Sayangnya, gagasan besar ini kini lebih banyak dikenang sebagai romantisme sejarah ketimbang menjadi fondasi nyata pembangunan. Bahkan, ia sering kali dicampakkan, dikhianati, dan dihapuskan oleh banyak ekonom serta guru di sekolah-sekolah.

Pada kenyataannya, arah pembangunan ekonomi Indonesia telah bergeser jauh dari amanat konstitusi yang secara tegas meletakkan keadilan sosial sebagai prinsip dasar kehidupan bernegara. Konstitusi Indonesia, terutama dalam pembukaannya, menegaskan cita-cita untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Nilai-nilai ini bukan sekadar retorika, melainkan landasan ideologis dan normatif yang mengikat.

Kenyataannya, kebijakan ekonomi nasional lebih banyak diarahkan oleh paradigma pasar yang kompetitif, individual, dan liberal. Ini jelas bertentangan dengan semangat konstitusi. Ekonomi Indonesia tidak dapat dijalankan dengan asumsi-asumsi netral yang mengabaikan konteks sosiologis dan nilai-nilai dasar konstitusionalnya. Tanpa pijakan pada prinsip dasar negara, pembangunan kehilangan arah ideologis, dan ekonomi hanya menjadi instrumen pertumbuhan yang menguntungkan segelintir pihak. Dalam situasi seperti ini, konstitusi direduksi menjadi simbol legalistik tanpa kuasa korektif terhadap pembangunan yang menyimpang dari cita-cita awal berdirinya negara.

Kita harus menyadari bahwa konstitusi Indonesia tidak hanya membentuk struktur negara, tetapi juga menetapkan arah ekonomi nasional yang berlandaskan keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Ketika kebijakan ekonomi dijalankan tanpa merujuk pada nilai-nilai tersebut, negara telah menyimpang dari kontrak sosial yang sah. Pertumbuhan ekonomi yang dilepaskan dari prinsip keadilan akan menghasilkan ketimpangan struktural yang bertentangan dengan cita-cita pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kerangka ini, Ekonomi Pancasila bukan sekadar sistem alternatif, melainkan representasi konkret dari mandat konstitusi itu sendiri. Mengabaikannya sama dengan menanggalkan tanggung jawab konstitusional negara terhadap warganya. Keberpihakan terhadap keadilan sosial, dalam hal ini, bukan preferensi politik, melainkan keharusan hukum yang bersumber dari fondasi negara.

Sudah terlalu lama kita terhipnotis oleh narasi globalisasi dan kompetisi pasar bebas tanpa mengkritisi struktur ketimpangan yang menyertainya. Padahal, tidak ada sistem ekonomi yang netral. Memilih liberalisasi berarti memilih akumulasi kekayaan pada segelintir aktor pasar. Memilih Ekonomi Pancasila berarti kembali pada prinsip kedaulatan warga negara atas ekonomi, sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi dan diperkuat oleh narasi ideologis bangsa sejak kemerdekaan. Ini bukan tentang nostalgia, melainkan tentang menegaskan kembali arah pembangunan yang sah dan sahih secara historis, etis, dan yuridis.

Menghidupkan kembali Ekonomi Pancasila berarti menyatukan arah pembangunan nasional dengan prinsip dasar negara. Ini bukan urusan teknis, melainkan keberanian politik dan kematangan intelektual. Di tengah dunia yang semakin menyeragamkan model ekonomi, Indonesia memiliki keunikan untuk menawarkan alternatif—sebuah sistem ekonomi yang manusiawi, berdasar nilai, dan berakar kuat pada konstitusi. Yang terlupakan di sini bukan konsepnya, melainkan keberanian untuk menjalankannya. Ingatlah bahwa para guru bangsa telah menegaskan, “ketika sebuah bangsa depresi oleh belenggu ketakutan dan kecemasan, maka daya hidupnya dilumpuhkan oleh jeratan 4D: defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa diabaikan) dan deprived (rasa tercerabut) yang dihayati seolah-olah sebagai kenyataan sejati; yang riil; yang sesungguhnya.”

Oleh karena itu, hindari sikap takut dan cemas dalam bernegara, terutama bagi para pemimpinnya. Kini, mari optimis, berani, dan bekerja menjadi versi terbaik dari diri kita agar tidak mengkhianati para pendiri republik dan Indonesia.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *