19 Oktober 2025

Konsumen Mendapat Ancaman, OJK Jangan Tutup Mata

0
images - 2025-10-05T081333.475

Jakarta, otoritas — Isu tuntutan audit terhadap salah satu perusahaan insurtech yang diduga melakukan manipulasi data premi kembali mencuat. Direktur Eksekutif Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar tidak menutup mata atas dugaan pelanggaran serius ini, yang disebut memiliki pola serupa dengan kasus eFishery.

Uchok mengungkapkan, perusahaan insurtech tersebut diketahui berhasil menarik pendanaan Seri B senilai lebih dari US$50 juta (sekitar Rp800 miliar) pada tahun 2021 dari sejumlah investor besar seperti East Ventures (EV) Growth, GGV Capital, eWTP Fund, Saratoga Investama Sedaya, dan Emtek.

“Bekerja sama dengan para broker internalnya, insurtech itu diduga mencuri data premi dari perusahaan asuransi lain untuk dicatatkan sebagai Gross Written Premium (GWP) mereka. Manipulasi data ini dilakukan agar prospek perusahaan terlihat kinclong di mata investor,” ungkap Uchok, Senin (30/9/2025).

Uchok menilai, apabila pemain-pemain seperti Fuse terus menebar janji manis tanpa ada langkah tegas dari OJK, maka hal itu berpotensi menimbulkan kecurigaan adanya pembiaran oleh regulator.

“Kalau pemain-pemain Fuse ini terus menghantui masyarakat tanpa tindakan berarti dari OJK, berarti ada dugaan unsur kesengajaan OJK memberi racun kepada masyarakat,” tegasnya.

Meskipun tidak menyebut nama secara langsung, Uchok memberikan sejumlah petunjuk bahwa perusahaan tersebut berdiri sejak 2017, pernah dinobatkan sebagai insurtech terbesar di Indonesia, dan salah satu pendirinya berasal dari Tiongkok. Berdasarkan penelusuran redaksi, profil tersebut merujuk pada Fuse, yang didirikan oleh PT Fuse Teknologi Indonesia pada 2017 oleh Andy Yeung.

Perusahaan ini mengklaim pendapatan GWP menembus Rp3 triliun pada 2022, tumbuh lebih dari 2.000% dibandingkan 2018. Fuse juga diketahui mendapat dukungan investasi dari Saratoga dan eWTP Technology and Investment Fund.

Menurut Uchok, modus manipulasi data ini memiliki kemiripan dengan kasus keuangan eFishery yang pernah diselidiki oleh Bareskrim Polri. Ia mendesak OJK segera bertindak cepat dan transparan guna menjaga kepercayaan publik terhadap ekosistem startup dan industri insurtech nasional.

“Mengingat anjloknya pendanaan startup Indonesia pada semester I 2025 — hanya US$161,3 juta — langkah tegas OJK menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan investor,” ujar Uchok.

Sementara itu, Adhi Nursetyo, praktisi asuransi, menegaskan bahwa isu integritas data dan tata kelola perusahaan harus menjadi prioritas utama, khususnya dalam konteks pendanaan startup.

“Investor pasti mensyaratkan transparansi dan due diligence yang ketat. Tapi kalau sejak awal ada manipulasi, semua ekosistem bisa rusak,” ujarnya kepada awak media

Adhi juga menyoroti ancaman langsung terhadap konsumen akibat maraknya penjualan produk asuransi oleh pihak yang tidak memiliki sertifikasi resmi. Menurutnya, setiap individu yang menjual produk asuransi wajib terdaftar sebagai agen di perusahaan asuransi tertentu dan memegang Sertifikasi Agen Asuransi.

“Banyak yang enggak punya sertifikasi agen tapi ikut jualan asuransi dan dapat komisi. Ini yang bikin kusut karena mereka enggak ngerti asuransi tapi jago ngerayu konsumen,” kata Adhi.

Praktik semacam ini kerap membuat konsumen dirugikan, karena minimnya pemahaman tentang manfaat, batasan, dan ketentuan polis. Akibatnya, banyak klaim yang berujung pada sengketa.

“Akar masalahnya adalah kurangnya penjelasan atas produk asuransi yang dibeli konsumen. Giliran terjadi klaim, baru ribut,” jelasnya.

Untuk itu, Adhi mengimbau masyarakat agar membeli produk asuransi hanya melalui agen resmi atau perusahaan pialang berizin OJK, guna memastikan perlindungan konsumen dan kepastian hukum yang maksimal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *