ZAMAN SURAM

Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre
OTORITAS.co.id – Kekasih. Melihat matamu bagai melihat Jakarta dan Indonesia: penuh tipu muslihat, buram, muram, dan penuh penderitaan bagi banyak orang. Jika Jakarta menyengsarakan kaum miskin, engkau menyengsarakan diriku.
Jika Indonesia menciptakan daerah-daerah terpinggirkan dan timpang, engkau membuatku sakau dan gila. Apa gerangan yang tak tumbuh di matamu? Segala keburukan: kemunafikan, manipulasi, penjilatan, korupsi, kolusi, nepotisme, fundamentalisme, terorisme, pemalsuan, kebusukan, kebodohan, ketakutan, dan kehampaan.
Tak ada masa depan yang gemilang. Tak ada kegagahan. Tak ada idealisme. Tak ada prestasi. Tak ada apa-apa, kecuali zaman yang negatif dan suram. Semua menyembah kursi kekuasaan, lawan jenis, dan kapital.
Yang mengherankan, “aku jatuh hati padamu: pada revolusinya.” Sama seperti aku jatuh cinta pada Indonesia: pada kejahilan-kejahilan yang terus berulang.
Kau tahu, revolusi butuh hati? Dan hati butuh jiwa. Lalu, jiwa butuh kawan. Kulihat hari ini kita defisit hati, minus jiwa, dan tanpa kawan.
Jika alam semesta hanya mengirimkan duka, lantas kita bisa apa? Jika takdir Tuhan hanya nestapa, kita mau bagaimana? Jika penguasa semesta hanya menuliskan lara, kita harus melakukan apa?
Kita hanyalah kumpulan kepapaan yang dikhianati kawan dan sahabat, serta diterkam zaman edan yang tak kunjung usai. Namun, duka maha dahsyat ini harus kita ikhlaskan agar Tuhan, arwah, dan hutan puas dengan qada-qadar-Nya. Amitabha.
Bisu. Bahkan untuk membalas salamku pun engkau tak sudi. Tuli. Bahkan untuk mendengar gemuruh rinduku pun engkau malu. Buta. Bahkan untuk melukis namaku pun engkau lari. Betapa pilu kini nasibku, tenggelam perlahan di samudra raya tanpa teman dan tanpa tahu kapan nyawa ini dicabut.
Rinduku padamu seperti rinduku pada kematian: bertepuk sebelah tangan. Tak ada kisahku yang lebih tragis dari soal kerinduan ini. Sungguh tak ada yang melebihi.
Bisu. Tuli. Buta. Tertolak. Dan engkau tak pernah kembali. Ke mana? Ke moksa dan reinkarnasi? Atau ke kesuraman?
Ya. Ini. Zaman suram. Karena itu, kekasih. Melihat matamu bagai melihat Jakarta dan Indonesia: penuh tipu muslihat, buram, muram, dan penuh penderitaan bagi banyak orang. Jika Jakarta menyengsarakan kaum miskin, engkau menyengsarakan diriku.
Jika Indonesia menciptakan daerah-daerah terpinggirkan dan timpang, engkau membuatku sakau dan gila. Apa gerangan yang tak tumbuh di matamu? Segala keburukan: kemunafikan, manipulasi, penjilatan, korupsi, kolusi, nepotisme, fundamentalisme, terorisme, pemalsuan, kebusukan, kebodohan, ketakutan, dan kehampaan.
Tak ada masa depan yang gemilang. Tak ada kegagahan. Tak ada idealisme. Tak ada prestasi. Tak ada apa-apa, kecuali zaman yang negatif dan suram. Semua menyembah kursi kekuasaan, lawan jenis, dan kapital.
Yang mengherankan, “aku jatuh hati padamu.” Sama seperti aku jatuh cinta pada Indonesia.
Kini. Rumput-rumput di sekitar rumahku mati dan sekarat. Pohon-pohon layu. Air PAM mengecil. Debu menebal di segala penjuru. Hujan yang biasanya turun di bulan September pun tak mau. Protes ia pada para pendosa yang giat korupsi di sekitar istana. Jika alam raya sudah marah, kenapa elite kita belum berubah? Nista betul hidupku ini.(*)