TANPA KEMISKINAN, ITULAH EKONOMI INDONESIA

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Otoritas.co.id — Perintah konstitusi Indonesia tegas: hapuskan kemiskinan. Mandat proklamasi pun jelas: wujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Karena itu, negara Pancasila sejatinya adalah negara yang anti-kemiskinan dan pro-kesejahteraan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, serta negara bertanggung jawab atas sistem jaminan sosial, kesehatan, dan pelayanan umum yang layak.
Dengan dasar itu, kemiskinan di Indonesia bukan sekadar angka dalam laporan ekonomi atau bahan pencitraan pejabat, tetapi musuh bersama yang harus dimusnahkan.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan masih eksis — menandakan adanya ketimpangan struktural dan kegagalan sistem pembangunan nasional dalam mendistribusikan hasil ekonomi secara adil. Karena itulah, Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial hadir sebagai koreksi atas paradigma pembangunan lama yang hanya berorientasi pada pertumbuhan, bukan pemerataan.
RUU ini menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan bukanlah kegiatan amal, melainkan mandat konstitusional negara. Pemerintah tidak cukup hanya memberi bantuan sesaat, tetapi wajib membangun sistem ekonomi yang membuka akses rakyat terhadap sumber daya, pendidikan, pekerjaan, dan modal.
Kebijakan subsidi dan pembiayaan negara diarahkan agar tepat sasaran dan berpihak pada pelaku ekonomi kecil, bukan sekadar konsumtif. Fokusnya adalah menciptakan kemandirian ekonomi rakyat melalui industrialisasi padat karya, penguatan koperasi, serta peningkatan kapasitas wirausaha daerah.
Arah kebijakan fiskal dalam RUU ini juga bergeser: dari sekadar menjaga stabilitas makroekonomi menjadi alat pemerataan. Anggaran negara diarahkan untuk memperkuat pendidikan, layanan kesehatan, dan mendorong ekonomi produktif di daerah tertinggal. Pendekatan berbasis manfaat ditekankan agar setiap pengeluaran publik benar-benar menghasilkan pertumbuhan yang adil dan mengurangi kesenjangan sosial.
Pembangunan tidak boleh lagi terpusat di kota besar, tetapi menjangkau wilayah pinggiran. Untuk itu, sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat menjadi kunci. Dunia usaha tidak boleh beroperasi secara eksklusif, melainkan menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional melalui kemitraan dengan UMKM dan koperasi.
Dengan kolaborasi lintas sektor ini, diharapkan tercipta perluasan lapangan kerja, penguatan rantai pasok lokal, serta tumbuhnya industri nasional berbasis sumber daya dalam negeri. Pembangunan ekonomi rakyat harus menjadi gerakan bersama — bukan hanya dikuasai segelintir korporasi besar.
Selain itu, kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus berpijak pada pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkeadilan ekologis. Hasil kekayaan alam wajib dikembalikan untuk kesejahteraan daerah penghasil melalui mekanisme dana bagi hasil yang proporsional. Sumber daya alam bukanlah komoditas eksploitasi, melainkan instrumen pemerataan kesejahteraan.
Negara pun diwajibkan menciptakan lapangan kerja melalui pendidikan vokasi, insentif industri, dan transformasi ekonomi digital yang inklusif. Setiap target penciptaan kerja harus diumumkan secara terbuka dan dapat diawasi publik.
Kebijakan redistribusi pendapatan diperkuat agar hasil pembangunan tidak hanya menguntungkan kelompok ekonomi atas, melainkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Secara teoretis, kebijakan ini berakar pada Teori Kesejahteraan Sosial dan Teori Pembangunan Inklusif yang menolak pandangan laissez-faire. Negara tidak boleh netral terhadap kemiskinan, melainkan harus aktif mendistribusikan sumber daya dan memperkuat kemampuan rakyat untuk hidup produktif.
Landasan ini sejalan dengan semangat Ekonomi Pancasila, yang menempatkan keadilan sosial bukan sebagai produk sampingan pasar, tetapi sebagai mandat konstitusional. Karena itu, RUU Perekonomian Nasional dibangun atas empat pendekatan utama: kebutuhan dasar, pendapatan, kemampuan manusia, serta pendekatan objektif dan subjektif.
Kesejahteraan bukan hanya soal uang, tetapi soal martabat, kesempatan, dan kemampuan setiap warga negara untuk hidup layak dalam sistem ekonomi yang adil.
Pada akhirnya, penghapusan kemiskinan bukan sekadar urusan administratif, melainkan perjuangan ideologis dan filosofis untuk mengembalikan makna warga negara sebagai subjek pembangunan. Rakyat bukan sekadar angka dalam survei, tetapi pemilik sah republik ini.
Dalam negara Pancasila, warga negara bukan statistik, melainkan manusia yang memiliki martabat dan hak ekonomi yang dijamin konstitusi. Karena itu, setiap kebijakan ekonomi harus berpihak pada manusia, bukan pada angka — sebab bangsa yang menghitung rakyatnya sebagai statistik semata, akan kehilangan makna keadilan yang menjadi dasar berdirinya republik. (**)