1 Agustus 2025

SWASTA DALAM SISTEM EKONOMI PANCASILA 

0
IMG-20250701-WA0019

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre),  Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

 

Otoritas.co.id – Ada pertanyaan penting dalam diskursus ekonomi Pancasila, “di mana peran swasta (dengan S besar)?” Apakah ia pemain utama, mitra, pelengkap atau bahkan penjajah ekonomi? Mari kita telisik perlahan agar tidak menjadi debat kusir dalam khasanah keIndonesiaan seperti akhir-akhir ini.

Ekonomi Indonesia secara konsensus dan konstitusi berdiri di atas fondasi ideologi Pancasila dan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dalam konstruksi ini, negara tidak sekadar berperan sebagai regulator pasif tetapi sebagai custodian yaitu penjaga pelindung dan pengarah jalannya perekonomian nasional agar seluruh kekayaan negeri dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh warga negara.

Namun dalam praktik ekonomi pascareformasi peran strategis negara dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup masyarakat perlahan digeser oleh dominasi swasta. Lebih parah lagi adalah swasta asing. Apa yang awalnya dirancang sebagai mitra dan pelengkap pembangunan kini menjelma menjadi pengendali sumber daya; pemain utama dan pondasi bangunan ekonomi Indonesia.

Secara akademik sistem ekonomi Pancasila adalah model tersendiri yang tidak identik dengan kapitalisme liberal tetapi juga tidak meniru komunisme dan sosialisme total. Ia adalah jalan tengah berbasis nilai yang menempatkan ekonomi bukan hanya sebagai urusan efisiensi atau pertumbuhan tetapi sebagai instrumen keadilan sosial dan kedaulatan bangsa. Dalam sistem ini, negara bertanggung jawab untuk memastikan agar kekuatan pasar tidak mengorbankan warga-negara yang lemah. Swasta boleh hidup bahkan dibutuhkan tetapi tidak boleh menjadi pusat kekuasaan ekonomi yang menggantikan peran negara. Ia dibutuhkan, bukan dituhankan.

Pandangan ini ditegaskan oleh Mubyarto, ekonom utama penggagas Ekonomi Pancasila. Menurutnya fungsi utama negara adalah melindungi warga negara dari ekses pasar dan mencegah dominasi kekuatan modal atas kebijakan publik. Ia menyebut bahwa pembangunan tanpa keadilan sosial bukan hanya cacat secara moral tapi juga kontraproduktif dalam jangka panjang. Dalam tulisannya Mubyarto menekankan pentingnya negara sebagai pemilik arah dan pengendali ekonomi dengan prinsip gotong royong dan keutamaan bagi Koperasi, BUMN serta usaha rakyat lainnya.

Namun kini kita menyaksikan penyimpangan serius. Di sektor pertambangan kekayaan mineral yang strategis seperti nikel, tembaga, emas dan batu bara secara faktual lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta besar termasuk asing dibanding oleh negara. Kontrak jangka panjang, tax holiday hingga kontrol logistik ekspor berada di luar jangkauan institusi negara yang lemah pengawasan. Lebih parah, pendapatan yang masuk ke kas negara sering kali tidak proporsional dibanding kerusakan ekologis konflik sosial dan kerugian nilai tambah nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa negara gagal menjalankan “peran custodian” dan malah tunduk pada logika pasar bebas.

Dari sudut pandang ekonom, ini adalah persoalan struktur dan keberpihakan. Tanpa kendali Negara, pasar akan selalu condong kepada akumulasi dan efisiensi bukan keadilan atau keberlanjutan. Maka, kontrol atas sumber daya strategis harus kembali berada di tangan negara bukan untuk disalahgunakan secara birokratis tetapi untuk diarahkan secara sistemik guna mewujudkan ekonomi yang berdaulat, adil, produktif dan berkelanjutan.

Di sini, regulasi harus diperkuat kembali, lembaga negara harus dirancang ulang agar adaptif (anti KKN) dan mondial, saat bersamaan arah pembangunan harus jelas membangun, menuju dan memastikan kemakmuran plus kesentosaan bersama bukan kekayaan individual (keluarga dan krooni).

Dari sisi ideologis, dominasi swasta atas sektor vital adalah bentuk kolonialisme baru dalam wajah domestik. Ini adalah bentuk alih kuasa dari negara ke pasar; dari warga-negara ke pemilik modal; dari cita-cita kolektif ke kalkulasi profit. Ketika tambang dikuasai oleh swasta bukan hanya sumber daya yang terancam tetapi juga filosofi dasar bangsa bahwa kekayaan Indonesia adalah milik warga negara bukan sekadar komoditas jual beli.

Peran swasta dalam kerangka konstitusi sebenarnya sudah ditegaskan secara implisit dalam Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang menyebut bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas kebersamaan yang efisien, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Artinya swasta tetap memiliki ruang tetapi dalam koridor kebersamaan bukan persaingan bebas absolut. Fungsi utama swasta adalah sebagai mitra negara dalam memajukan kesejahteraan umum bukan sebagai entitas yang mendominasi orientasi pembangunan nasional.

Oleh karena itu swasta harus dikawal agar tetap menjalankan fungsi produktif yang selaras dengan kepentingan nasional. Dalam konteks ekonomi Pancasila, swasta diharapkan beroperasi secara bertanggung jawab dengan mematuhi prinsip keberlanjutan, menjaga nilai tambah di dalam negeri, menyerap tenaga kerja lokal serta berkontribusi terhadap restrukturasi dan redistribusi kekayaan nasional.

Singkatnya, swasta yang sehat adalah mereka yang bersedia tunduk pada supremasi konstitusi bukan sekadar mengejar profit, intrik dan dominasi. Tanpa pengawasan ideologis dan hukum yang kuat maka swasta akan menjelma menjadi kekuatan oligarkis yang bertolak belakang dengan tujuan bernegara. Jika swasta dominan, kita sebenarnya tidak sedang bernegara.

Jalan keluar tidak cukup hanya dengan perbaikan regulasi sektoral. Harus ada RUU Perekonomian Nasional yang menjabarkan secara tegas prinsip-prinsip ekonomi Pancasila dalam satu kerangka hukum yang mengikat dan operasional. RUU ini harus menjadi dasar utama dalam mengatur hubungan antara negara dan swasta dalam sektor-sektor strategis termasuk mekanisme penguasaan dan pengawasan terhadap sumber daya alam serta menetapkan secara eksplisit ruang lingkup kegiatan ekonomi swasta apa yang boleh dilakukan dalam batas mana mereka bergerak serta bagaimana akuntabilitas dan keberpihakan sosialnya diukur.

Swasta harus diklasifikasikan secara fungsional sebagai mitra dan pelengkap kegiatan ekonomi nasional bukan sebagai pengganti peran negara. Tanpa landasan hukum yang sistemik dan berideologi Pancasila, maka ketimpangan struktural akan terus berlangsung dan posisi negara sebagai “custodian ekonomi” hanya akan menjadi slogan tanpa substansi. Di sini, kita harus segera siuman dan melakukan revolusi ekonomi demi peran-peran yang lebih adil dan memartabatkan semuanya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *