Sumpah Pemuda: Ikrar yang Terus Diuji

Oleh: Yudhie Haryono, Rektor Universitas Nusantara
OTORITAS.co.id – Pada awalnya adalah kegelisahan. Kegelisahan akan ketiadaan persatuan untuk melawan penindasan, sebuah keadaan “perih dan paria” akibat penindasan yang kejam. Mimpi persatuan itu, pada mulanya, hanya bisa diwujudkan melalui “persatean”—sebuah metafora untuk ikatan sederhana, seperti tusuk sate yang menyatukan potongan daging. Artinya, ada prasyarat minimal untuk bersatu: yang penting bertemu dan berkumpul terlebih dahulu, tanpa harus sampai pada detail program. “Disate dulu,” begitu kira-kira idenya. Oleh karena itu, para pemuda dan pemudi saat itu baru bisa mengucapkan sumpah, belum mampu menyatukan program dan membentuk sebuah negara. Inilah latar belakang lahirnya kongres pemuda.
Dalam suasana yang membara, Yamin murka. Sugondo dan Sunario berapi-api membakar semangat kaum muda yang hadir, yang dengan sukarela melepaskan ego masing-masing. Setelah perdebatan sengit dan penggalian makna yang mendalam, pada kongres kesekian, lahirlah kalimat magis itu: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Para pewarisnya mengukir sumpah ini dalam jiwa, menjadikannya romantisme kolektif bangsa. Inilah fondasi Indonesia, titik tumpu yang kelak akan membentuk Indonesia menjadi sebuah negara. Singkatnya, inti dari sumpah itu adalah ikrar para pemuda dan pemudi bangsa untuk setia kepada tanah air dan bahasa, tonggak sejarah penting dalam perjalanan menuju kemerdekaan.
Dibacakan pada Kongres Pemuda Kedua, sumpah bertanggal 28 Oktober 1928 itu menggema. Hingga kini, saat membaca teks tersebut, kita teringat pada Chairil Anwar (1948) yang bertahun kemudian menafsirkan semangat ini dalam puisi berjudul “Yang Terampas dan yang Putus”: “… aku berbenah dalam kamar/dalam diriku jika kau datang/aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu/tapi hanya tangan yang bergerak lantang.
Tubuhku diam sendiri/cerita dan peristiwa berlaku beku/cemara menderai sampai jauh/terasa hari akan jadi malam/ada beberapa dahan ditingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam. Aku sekarang orangnya bisa tahan/sudah berapa waktu bukan kanak lagi/tapi dulu memang ada suatu bahan/yang bukan dasar perhitungan kini.
Hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Ada sumpah, ada mimpi, ada imaji, ada opini tentang negeri yang bijak bestari. Namun, seringkali para elite yang seharusnya mewarisi semangat ini justru tampak tak setia. Mereka seolah mengikis sumpah itu, dan kita yang menyaksikannya hanya bisa meringis.