Restorasi Mangrove Dinilai Mendesak sebagai Benteng Alami Pesisir Teluk Jakarta

Jakarta, Otoritas.co.id — Hilangnya ratusan hektare hutan mangrove di pesisir Teluk Jakarta sejak 2020 tidak hanya menggerus garis pantai hingga 10 meter di sejumlah titik, tetapi juga melemahkan benteng pertahanan alami terhadap banjir rob yang kian sering terjadi.
Ketua Manifes Juang Indonesia (Maju Indonesia) DKI Jakarta, Ayomi Mahayu, menilai ancaman abrasi pantai dan kerusakan ekosistem mangrove telah menjadi bom waktu yang memperparah risiko banjir rob di wilayah pesisir utara Jakarta.
“Kerusakan mangrove bukan sekadar isu lingkungan, tetapi persoalan keselamatan warga pesisir. Tanpa perlindungan alami, banjir rob akan semakin sering dan meluas,” ujar Ayomi dalam keterangannya, Senin.
Menurutnya, pendekatan pembangunan yang selama ini lebih menitikberatkan pada solusi infrastruktur, seperti pembangunan tanggul dan pagar laut, tidak akan efektif apabila tidak diimbangi dengan rehabilitasi ekosistem mangrove. Ia menegaskan bahwa konversi lahan yang terus berlangsung menjadi pemicu utama degradasi lingkungan pesisir.
Data menunjukkan, dalam delapan tahun terakhir, sekitar 279 hektare hutan mangrove di Teluk Jakarta telah hilang. Kondisi ini mempercepat abrasi pantai, memperparah intrusi air laut ke daratan, serta meningkatkan frekuensi banjir rob yang diprediksi terus terjadi hingga akhir 2025.
Dampak kerusakan tersebut dirasakan langsung oleh warga di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Muara Angke. Nelayan kehilangan mata pencaharian akibat sedimentasi yang buruk serta pencemaran mikroplastik dari limbah sampah yang terbawa arus laut di sepanjang pesisir utara Jakarta.
“Tanpa mangrove sebagai penyangga alami, banjir berpotensi merendam ribuan rumah warga. Kita bisa melihat contohnya di Pulau Pari, di mana garis pantai telah bergeser sejauh 7 hingga 10 meter,” tegas Ayomi.
Sebagai alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), Ayomi juga mengkritisi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dinilai terlalu fokus pada pembangunan tanggul dan pagar laut di sekitar kawasan PIK. Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi kontraproduktif apabila tidak disertai upaya serius dalam restorasi mangrove, bahkan dapat memicu konflik lahan serta merusak ekosistem dan ruang hidup nelayan lokal.
Ia juga menyoroti lambannya Pemprov DKI Jakarta dalam meratifikasi Peraturan Gubernur (Pergub) terkait perlindungan mangrove, di tengah ancaman deforestasi nasional yang diproyeksikan mencapai 29.000 hektare per tahun hingga 2030.
Lebih lanjut, Maju Indonesia menilai minimnya partisipasi masyarakat dalam penentuan zonasi rehabilitasi mangrove berisiko memperlebar ketimpangan sosial di wilayah pesisir. Oleh karena itu, organisasi tersebut merekomendasikan penanaman kembali mangrove seluas 200 hektare di kawasan zona lindung seperti Muara Angke dan Pantai Indah Kapuk.
“Program reboisasi mangrove harus melibatkan komunitas lokal, LSM, serta masyarakat pesisir, dan disertai pengawasan independen. Ini penting agar Jakarta benar-benar bangkit sebagai kota yang tangguh terhadap banjir melalui pengelolaan ekosistem pesisir yang lestari dan berkeadilan,” pungkas Ayomi.
— Salam Maju Indonesia
