22 Mei 2025

PHK Massal di Media dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists: Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki

0
file_00000000eb78622fa421768f036dd4a5

Jakarta, otoritas.co.id — Dunia jurnalisme tengah mengalami guncangan besar. Dalam satu tahun terakhir, lebih dari 1.200 jurnalis dari berbagai media nasional mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Mulai dari Kompas hingga MNC Group, dari Republika, Liputan 6, hingga Jawa Pos dan Tribun Group—semuanya serempak mengurangi ruang redaksi dan melepaskan para wartawannya.

Fenomena ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, melainkan juga hilangnya makna, identitas, bahkan peran sosial. Seperti dikisahkan Denny JA dalam esainya, seorang jurnalis senior yang telah bekerja selama dua dekade dipecat dan hanya membawa map berisi surat PHK, sisa gaji, dan secarik realita pahit: dunia telah berubah.

Kini, muncul satu istilah baru yang menjadi simbol zaman—Displaced Journalists, atau angkatan jurnalis yang tercerabut dari sistem akibat perubahan struktural industri media. Mereka bukan jurnalis gagal. Mereka adalah generasi terbaik yang kalah oleh laju teknologi, model bisnis yang runtuh, dan pergeseran selera publik yang lebih memuja kecepatan dan viralitas dibanding kedalaman dan kebenaran.

Fenomena Displaced Journalists bukan milik Indonesia semata. Dari Brooklyn hingga Buenos Aires, Delhi hingga Jakarta, ratusan ribu jurnalis mengalami nasib serupa. Mereka lahir dari PHK BuzzFeed di 2018, disusul percepatan digitalisasi saat pandemi 2020, hingga hadirnya AI generatif seperti ChatGPT dan Bard yang mulai menulis berita secara otomatis pada 2022–2023.

Mereka tumbuh di tengah lanskap media yang runtuh. Iklan yang dulu menopang redaksi kini dikuasai raksasa digital seperti Meta dan Google. Sementara pembaca makin enggan membayar konten bermutu. Redaksi tak lagi menjadi rumah aman, melainkan ruang kosong yang sunyi.

Namun, di balik keterpencilan itu, sebagian dari mereka memilih bertahan dan bertransformasi. Mereka membangun kanal independen: Substack, newsletter, podcast, hingga YouTube. Mereka menjadikan AI sebagai mitra, bukan musuh. Mereka berpindah dari jurnalis institusional menjadi narator independen, dari pengejar berita ke pencari makna.

Displaced Journalists kini menjadi cermin zaman. Mereka tak hanya mewakili krisis profesi wartawan, tetapi juga menggambarkan nasib banyak profesi lain yang terdisrupsi: guru, analis, desainer, dan lainnya.

Namun justru dari keterpencilan itu pula muncul kemungkinan: jurnalis bisa memilih agenda sendiri, membangun komunitas sendiri, dan mendapatkan kepercayaan langsung dari pembaca—tanpa perantara konglomerasi media atau iklan.

Contohnya, di Jawa Timur, seorang jurnalis membentuk decentralized newsroom berbasis blockchain; di Buenos Aires, mantan editor menjual analisis ke NGO melalui Web3; dan di Jakarta, podcast investigatif “Suara Puing” dibiayai langsung oleh ribuan pelanggan tanpa iklan.

Mereka bukan lagi korban PHK, tapi arsitek ekosistem baru. Mereka menulis bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk menyalakan cahaya dalam lorong zaman yang kabur oleh informasi palsu dan algoritma bias.

“Dulu saya menulis untuk halaman depan,” ujar seorang jurnalis muda di Bandung. “Sekarang saya menulis untuk hati pembaca.”

Displaced Journalists mungkin telah kehilangan ruang redaksi, tetapi mereka menemukan ruang baru: nurani digital.

Menurut laporan RRI.co.id, Dewan Pers menyampaikan kekhawatiran atas makin menurunnya jumlah jurnalis berkualitas akibat PHK massal.

CNN Business mencatat bahwa di Amerika Serikat saja, lebih dari 1.000 pekerjaan di bidang media hilang pada awal 2024 akibat gelombang PHK serupa. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *