19 Oktober 2025
IMG-20251013-WA0029

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)

 

Otoritas.co.id — Rintik hujan tak henti-henti membasahi Bandara Kualanamu ketika Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre, terjebak dalam perjalanan menuju pertemuan para ekonom muda. Namun di tengah jeda panjang itu, ia merenungi makna sebuah perayaan — perayaan perlawanan ekonomi, sebuah gerakan moral dan intelektual melawan dua proyek besar: denasionalisasi dan deindonesianisasi.

Menurut Yudhie, perlawanan ini bukan sekadar aksi ekonomi, melainkan kerja peradaban. Ia menegaskan bahwa perjuangan ekonomi bangsa tidak boleh bergantung pada “kemenangan dan kursi kekuasaan.” Hidup merdeka, katanya, seharusnya dapat dirayakan tanpa harus menjual diri, menjilat, atau menghamba. “Kita tidak wajib mengubah kemerdekaan menjadi perbudakan,” ujarnya tegas.

Yudhie mengkritik keras para penyembah kekuasaan yang selama lima dekade terakhir menguasai kebijakan ekonomi di seputar istana — dari Bappenas, Kementerian Keuangan, hingga Bank Indonesia. Dalam pandangannya, para ekonom berhaluan neoliberal inilah yang membentuk Indonesia menjadi negara predatoris, yakni negara yang digunakan oleh elit untuk memangsa sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) demi kepentingan segelintir kelompok.

“Di negara predatoris, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang menjadi tradisi,” tulis Yudhie.

“Defisit akuntabilitas dan tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi adalah menu sehari-hari.”

Ia menggambarkan situasi ekonomi dan politik saat ini sebagai “kegelapan ekonomi” — kondisi yang ditandai oleh pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan, serta meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Ironisnya, menurut Yudhie, keadaan ini bukan kecelakaan, melainkan kurikulum sistemik yang justru melanggengkan ketimpangan dan penderitaan.

Namun Yudhie juga menegaskan harapan. “Ekonomi gelap tak bisa diterangi oleh ekonom gelap,” katanya. “Yang bisa menerangi hanya ekonom terang — ekonom Pancasila.”

Dalam pertemuan para ekonom muda yang dihadirinya, mereka sepakat menyusun kertas kerja perlawanan ekonomi yang menegaskan perlunya keberanian moral. “Dalam sejarah kita,” ungkap Yudhie, “seidealis apa pun seseorang, ketika berhadapan dengan kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya, sering kali jiwanya runtuh.” Karena itu, ia menyerukan agar generasi muda berani memilih mati dengan terhormat demi menjaga DNA patriotisme dan jiwa revolusioner bangsa.

“Tanpa patriotisme,” tegasnya, “yang tersisa hanyalah hitung-hitungan untung rugi. Negeri ini akan berubah menjadi pasar tanpa jiwa, tempat orang saling jual harga diri demi posisi.”

Bagi Yudhie, hilangnya patriotisme berarti hilangnya makna kebangsaan itu sendiri. Bangsa tanpa jiwa akan menjadi sekadar nama di peta, bukan rumah tempat rakyatnya tertawa dan makmur bersama. “Bukan negeri Pancasila, bukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, bukan negeri yang diimpikan para pendirinya,” ujarnya.

Menutup refleksinya, Yudhie mengutip nasihat seorang sastrawan besar Republik, Suryaesa (2025):

“Idealis yang tak pernah belajar mengalah, akhirnya kalah oleh dirinya sendiri. Tapi idealis yang bisa menunduk tanpa tunduk—dialah yang benar-benar tegak.”

Sebuah pesan yang mempertegas bahwa perlawanan ekonomi bukan sekadar soal kebijakan, tetapi tentang menjaga martabat dan jiwa bangsa di tengah gelombang besar neoliberalisme global. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *