Perang Medis: Jeratan Obat Kimia dan Ketergantungan Global

Oleh: Yudhie Haryono P,residium Forum Negarawan
OTORITAS.co.id – Kita berada dalam apa yang bisa kita sebut sebagai “Medical War”—sebuah perang panjang melawan hegemoni obat kimia yang kerap menjajah dan menyiksa. Sejarah diplomatik, interaksi antara kebijakan kesehatan domestik, regional, dan internasional, serta dimensi sosial dan budaya, semuanya menunjukkan bagaimana masa kini terbentuk oleh masa lalu. Ironisnya, saat ini kita masih terpuruk: menjadi tawanan virus, obat kimia, dan cetak biru kesehatan global. Kita belum mampu sepenuhnya berdikari dalam menciptakan vaksin maupun mengoptimalkan jamu sebagai solusi kesehatan.
Kita belum memiliki skema kontra yang kuat. Padahal, kita memiliki Pancasila. Sebagai landasan berbangsa, Pancasila seharusnya menjadi jiwa yang menjiwai setiap kebijakan publik, termasuk sektor kesehatan. Namun, sangat disayangkan, kebijakan kesehatan pemerintah saat ini masih membutuhkan banyak perbaikan agar sejalan dengan semangat Pancasila. Kita harus merumuskan skema dan kedaulatan kesehatan yang paripurna.
Alih-alih menjadi sektor yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kebersamaan, kebijakan kesehatan kita justru sering mengabaikan prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam konteks ini, “Kesehatan Pancasilais” seharusnya bukan sekadar slogan politik, melainkan sebuah gerakan nyata yang menuntut keadilan dan akses kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesehatan Berlandaskan Ketuhanan: Mengapa Spiritualitas Ditinggalkan?
Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” menuntut pendekatan kesehatan yang tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga spiritual dan emosional. Namun, dalam praktiknya, kebijakan kesehatan kita terlalu didominasi oleh pendekatan biomedis yang kaku, tanpa memperhatikan keseimbangan holistik yang dianjurkan oleh banyak tradisi keagamaan.
Kita telah kehilangan dimensi moral dan spiritual dalam upaya membangun masyarakat sehat. Seperti yang diungkapkan oleh Harsono (2001), seorang pakar kesehatan masyarakat, “Pendekatan kesehatan yang spiritualis bisa memperkuat ketahanan mental dan mempercepat penyembuhan fisik. Ini adalah aspek yang diremehkan dalam kebijakan kesehatan kita selama ini.”
Ironisnya, pendidikan kesehatan moral berbasis nilai-nilai religius masih minim terintegrasi dalam sistem kesehatan nasional kita. Padahal, di banyak negara maju, pendidikan kesehatan yang melibatkan pendekatan holistik sudah menjadi bagian integral dari kebijakan publik. Di Indonesia, nilai-nilai ketuhanan ini seringkali hanya menjadi bahan kampanye politik, tetapi tidak diimplementasikan secara nyata dalam kebijakan kesehatan. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) besar bagi kita.
Kemanusiaan yang Terlupakan dalam Layanan Kesehatan!
Sila kedua Pancasila berbicara tentang “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Namun, mari kita cermati realitas di lapangan. Layanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari kata humanis. Banyak pasien, khususnya dari golongan miskin dan marginal, diperlakukan bukan sebagai manusia seutuhnya. Mereka seringkali dianggap sebagai angka statistik dalam sistem birokrasi yang dingin dan tanpa empati.
Susilo (2021), seorang akademisi politik kesehatan, menegaskan, “Kita sedang menyaksikan bagaimana hak asasi manusia dalam bidang kesehatan diabaikan. Kesenjangan pelayanan antara masyarakat kaya dan miskin sangatlah nyata.” Padahal, dalam konteks kesehatan Pancasilais, setiap warga negara harus diperlakukan dengan martabat dan penghargaan penuh, tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi mereka.
Sayangnya, BPJS Watch masih mencatat sepanjang tahun 2023 saja ada 119 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS Kesehatan. Contohnya termasuk masalah pemberian obat, readmisi, hingga kepesertaan yang dinonaktifkan. Pelayanan kesehatan seharusnya bukan hanya tentang mengobati penyakit, tetapi juga tentang memberikan perawatan yang berempati dan etis, sesuatu yang seringkali terabaikan dalam sistem kesehatan kita.
Keadilan Sosial dalam Kesehatan: Antara Harapan dan Kenyataan
Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” adalah prinsip utama yang sering dilanggar dalam kebijakan kesehatan nasional. Akses terhadap layanan kesehatan masih sangat timpang. Daerah-daerah terpencil dan tertinggal kerap kali tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak, sementara daerah perkotaan menikmati fasilitas yang jauh lebih baik. Kesenjangan ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan sosial yang diusung oleh Pancasila.
Dalam konsep kesehatan Pancasilais, setiap rakyat berhak atas pelayanan kesehatan yang setara dan berkualitas, tanpa terkecuali. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seharusnya menjadi solusi yang merata, namun pada kenyataannya, pelaksanaan JKN masih penuh dengan masalah, mulai dari ketersediaan fasilitas hingga birokrasi yang lambat.
Arief Afandi (2009), seorang ekonom kesehatan, menyatakan bahwa, “Sistem kesehatan Indonesia gagal memenuhi prinsip keadilan sosial karena distribusi sumber daya yang sangat tidak merata. Banyak daerah yang tidak memiliki akses terhadap layanan medis dasar.” Ini jelas merupakan PR berikutnya yang riil.
Mewujudkan Kesehatan yang Pancasilais
Jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan kesehatan Pancasilais, maka kebijakan kesehatan harus segera dirombak secara mendasar. Pendekatan yang hanya berfokus pada kuantitas—seperti menambah jumlah rumah sakit dan tenaga medis—tidaklah cukup.
Kita membutuhkan sistem kesehatan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila: menghormati hak asasi manusia, memberikan akses yang merata, dan menempatkan kemanusiaan di atas efisiensi ekonomi. Sudah saatnya kita berhenti melihat kesehatan sebagai komoditas, dan mulai memperlakukannya sebagai hak dasar yang tidak dapat ditawar-tawar.
Seperti yang diungkapkan oleh Bung Karno (1945), “Pancasila adalah landasan untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur.” Maka, hanya dengan menghidupkan kembali semangat ini, kita bisa mewujudkan sistem kesehatan yang benar-benar Pancasilais. Semoga pemerintahan baru bersegera mewujudkannya secara Total, Sistematis, dan Masif (TSM). (**)