12 Juli 2025

Penghapusan Kemiskinan Secara Sistemik

0
IMG-20250701-WA0036

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) & Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

 

Negara yang dipenuhi kemiskinan adalah negara yang gagal, mengkhianati para pendiri republik, melupakan konstitusi, dan menjadi “negeri kerdil.” Oleh karena itu, menghapus kemiskinan merupakan “panggilan suci sekaligus jihad akbar dalam ber-Indonesia.” Dalam kerangka ini, sistem ekonomi Pancasila menempatkan penghapusan kemiskinan sebagai tema dan program utama. Hal ini karena Ekonomi Pancasila bukan sekadar pendekatan kebijakan, melainkan sistem ideologis yang menjadikan keadilan sosial sebagai prinsip utamanya. Dalam keadilan sosial, kemiskinan dan kaum miskin mustahil ada, apalagi pemiskinan.

Dalam sistem ini, kemiskinan tidak dipandang hanya sebagai persoalan teknis, melainkan sebagai peristiwa ideologis dan “akibat dari struktur ekonomi” yang tidak berpihak pada warga negara. Oleh karena itu, penghapusan kemiskinan tidak cukup dilakukan melalui program karitatif atau intervensi sektoral. Ia harus menjadi bagian dari desain sistemik yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila—inilah ukuran keberhasilan pemerintah saat berkuasa.

Kemiskinan dalam pandangan Ekonomi Pancasila tidak hanya berarti kekurangan materi, tetapi juga keterasingan warga negara dari manfaat pembangunan. Ini adalah produk dari sistem ekonomi yang membiarkan akumulasi kekayaan tanpa pemerataan, serta mengabaikan prinsip kolektivitas dan gotong royong. Selama kemiskinan dibiarkan, sistem ekonomi tidak dapat disebut Pancasilais secara substantif. Lebih parah lagi, kini kemiskinan sering dijadikan sinetron dan hiburan, artefak dan museum yang dipelihara karena ideologi neoliberal yang tamak di kalangan elite kita.

Gagasan bahwa kemiskinan adalah keterasingan sejalan dengan pemikiran ekonom jenius Mubyarto, tokoh utama perumus Ekonomi Pancasila. Ia menolak paham ekonomi sebagai ilmu netral dan bebas nilai. Menurutnya, ekonomi adalah alat kebijakan yang harus diarahkan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam kerangka ini, kemiskinan adalah bukti kegagalan sistemik, bukan kegagalan individu. Maka dari itu, pembangunan ekonomi tidak hanya harus tumbuh, tetapi juga berkualitas, adil, swasembada, dan berpihak kepada semua.

Presiden Soekarno, dalam berbagai pidatonya, konsisten menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya terwujud jika rakyat bebas dari kemiskinan dan eksploitasi. Itulah alasan kita mendirikan negara—bukan sembarang negara, melainkan Negara Pancasila. Melalui gagasan berdikari dalam ekonomi, ia mengingatkan bahwa sistem ekonomi Indonesia tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan pasar atau modal asing. Warga negara harus menjadi pelaku utama, bukan objek pembangunan; mereka adalah penentu dan aktor independen.

Pandangan serupa dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sejak awal, ia memperjuangkan ekonomi kerakyatan sebagai jalan untuk membebaskan warga negara dari kemiskinan kultural dan struktural. Menurut Hatta, kekuatan ekonomi warga negara terletak pada koperasi dan usaha bersama, bukan pada dominasi kapital individu atau korporasi besar. Kemiskinan dan pemiskinan hanya dapat diberantas jika semua warga negara memperoleh akses yang setara, adil, dan seirama terhadap alat produksi, sumber daya, permodalan, dan pasar.

Secara teoritis, pemikiran ini sesuai dengan pendekatan capability yang dikembangkan oleh Amartya Sen. Menurut Sen, kemiskinan bukan hanya tentang rendahnya pendapatan, melainkan tentang keterbatasan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Oleh karena itu, sistem ekonomi Pancasilais harus memastikan setiap warga negara memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, pangan bergizi, papan, dan lingkungan hidup yang aman.

Penghapusan kemiskinan secara sistemik berarti melakukan perubahan menyeluruh terhadap struktur dan arah pembangunan. Kita harus mengakhiri rezim pasar yang gagal, menyingkirkan ekonom “hit-man” yang khianat, dan kembali ke konstitusi serta jati diri bangsa. Ini tentu mencakup reformasi agraria, redistribusi aset produktif, sistem perpajakan yang super progresif, dan penguatan kelembagaan ekonomi warga negara. Negara tidak boleh bersikap netral dalam menghadapi kemiskinan dan pemiskinan. Dalam Ekonomi Pancasila, negara harus aktif dan progresif berpihak kepada yang lemah (difabel, miskin, marjinal) dan membatasi dominasi ekonomi oleh kekuatan oligarki. Negara Pancasila memastikan “keadilan sosial dan kesejahteraan bersama” sebagai tujuan utama, dengan segala cara (agensi, metode, struktur, dan kulturnya).

Sayangnya, kebijakan ekonomi yang berlaku saat ini masih terlalu teknokratis, bahkan liberalis dan predatoris. Kemiskinan diperlakukan sebagai variabel statistik yang ditangani dengan pendekatan manajerial, bukan sebagai kegagalan sistemik yang harus dikoreksi secara struktural. Padahal, pembangunan ekonomi tanpa arah ideologis hanya akan memperdalam ketimpangan dan memperluas eksklusi sosial—hal yang kita kutuk sebagai warisan kolonial.

Di atas segalanya, Ekonomi Pancasila tidak dapat dijalankan setengah hati, apalagi main-main. Ia membutuhkan keberpihakan yang jelas dalam perencanaan, penganggaran, kelembagaan, dan keberanian politik untuk melakukan revolusi, serta konsistensi dalam memastikan seluruh instrumen pembangunan berpihak pada keadilan. Tanpa itu, ekonomi hanya akan menjadi alat akumulasi dan kolonisasi, bukan alat pembebasan.

Kemiskinan dan pemiskinan tidak dapat diatasi dengan belas kasihan, tetapi dengan restrukturisasi sistem. Dalam Ekonomi Pancasila, kemiskinan bukan sekadar masalah sosial, melainkan persoalan ideologis yang mencerminkan apakah sistem ekonomi yang dijalankan sejalan dengan nilai-nilai dasar bangsa atau tidak.
Oleh karena itu, penghapusan kemiskinan dan pemiskinan secara sistemik adalah mandat dari Ekonomi Pancasila, bukan sekadar pilihan kebijakan. Ini merupakan ukuran sejauh mana nilai-nilai dasar negara benar-benar dijalankan dalam praktik ekonomi nasional.

Selama kemiskinan masih berlangsung, selama akses terhadap sumber daya produktif masih tidak merata, dan selama kekuatan pasar lebih dominan daripada prinsip keadilan sosial, maka sistem ekonomi kita belum sepenuhnya berpijak pada fondasi ideologis Pancasila. Selama itu pula, kita tak layak menyebut diri sebagai “Negara Pancasila.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *