13 Juli 2025
IMG-20250710-WA0062

otoritas.co.id — Peringatan Hari Koperasi Nasional tahun ini menjadi momen penting yang tak hanya dirayakan secara seremonial, namun juga menjadi refleksi atas akar historis dan ideologis gerakan koperasi di Indonesia. Di tengah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, komitmen terhadap penguatan koperasi mendapatkan ruang yang lebih eksplisit melalui Asta Cita ke-3 yang secara khusus menempatkan koperasi sebagai aktor utama dalam pengembangan industri agro-maritim.

Menurut Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, penekanan Presiden terhadap koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat adalah langkah strategis yang belum pernah dilakukan secara tegas oleh presiden-presiden sebelumnya di era reformasi, meski beberapa mengaku berpihak pada “wong cilik”. Arah kebijakan ini menjadi semakin relevan ketika dikaitkan dengan tujuan besar negara: swasembada pangan dan kedaulatan ekonomi berbasis kerakyatan.

“Banyak dasar yang mendukung pengutamaan koperasi, baik dari segi ideologi Pancasila, konstitusi Pasal 33 UUD 1945, maupun pengalaman historis yang membuktikan peran koperasi dalam pembangunan nasional, khususnya di masa Orde Baru,” ujar Defiyan, yang juga mantan pengurus Koperasi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (Kopma UGM).

Namun, kesadaran publik terhadap sejarah koperasi masih sangat terbatas. Umumnya, hanya Bung Hatta yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Padahal, gagasan dan praktik koperasi telah hadir jauh sebelum itu — bahkan pada masa kolonial Belanda.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI), yang kini dikenal sebagai bank komersial, sejatinya lahir dari semangat koperasi dan upaya mandiri rakyat dalam menghadapi ketimpangan ekonomi kolonial. Kedua lembaga ini berakar dari semangat self-help, yakni usaha bersama menolong diri sendiri — prinsip dasar koperasi.

Di balik lahirnya BRI pada 16 Desember 1895, berdiri sosok Raden Bei Aria Wirjaatmadja di Purwokerto yang mendirikan De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden — lembaga simpan pinjam untuk mengelola dana masjid demi membantu masyarakat, sebagai jawaban atas praktik perbankan kolonial yang eksploitatif.

BRI terus bertransformasi, dari Volksbank hingga Bank Rakjat saat masa pendudukan Jepang. Namun, esensi koperasinya tetap jelas: lembaga keuangan rakyat yang adil dan partisipatif.

Sementara itu, BNI didirikan oleh Raden Margono Djojohadikoesoemo, kakek Presiden Prabowo, pada 5 Juli 1946. Awalnya sebagai bank sentral sekaligus bank umum, BNI lahir dari semangat perjuangan rakyat pasca-kemerdekaan dan disahkan secara resmi oleh pemerintah pada 17 Agustus 1946 di Yogyakarta. Kendati kemudian perannya sebagai bank sentral diambil alih oleh De Javasche Bank pasca-KMB tahun 1949, nilai-nilai koperasi yang membentuk semangat pendiriannya patut tetap diingat.

“Kita terlalu cepat melupakan akar koperasi dalam sejarah BRI dan BNI. Kini, keduanya lebih dikenal sebagai korporasi perbankan semata, padahal dulunya adalah representasi koperasi sejati yang memperjuangkan ekonomi rakyat,” tegas Defiyan.

Momentum Hari Koperasi Nasional 12 Juli 2025 ini seharusnya menjadi titik balik. Bahwa koperasi bukan sekadar entitas ekonomi alternatif, melainkan arsitektur utama dalam membangun Indonesia yang adil, mandiri, dan berdaulat. Sudah saatnya kita kembali mengingat dan menghidupkan semangat Purwokerto dan para tokohnya — Raden Bei Aria dan Raden Margono — yang membuktikan bahwa koperasi adalah jalan perlawanan yang bermartabat terhadap sistem yang menindas. Koperasi, bukan korporasi.

 

 

Catatan: Artikel ini ditulis sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah koperasi di Indonesia, dan sebagai persembahan khusus bagi Guru Setiyo Wibowo, pegiat pemikiran ekonomi kerakyatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *