2 Juli 2025

Konstitusi dan Pendidikan Kita: Sebuah Refleksi

0
IMG-20250628-WA0010

Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre

 

OTORITAS.co.id- Mengapa semakin banyak sarjana kita – baik lulusan dalam maupun luar negeri – tidak serta merta mengangkat martabat Indonesia di mata dunia? Bahkan, dalam beberapa aspek, kesejahteraan dan ketenteraman kita justru terasa makin jauh. Di mana letak permasalahannya, dan apa yang harus kita lakukan? Ini adalah pertanyaan krusial yang perlu kita diskusikan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Desember 2024 menunjukkan bahwa jumlah sarjana kita mencapai 12.091.571 jiwa. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Tentu ini jumlah yang besar, meskipun belum signifikan dibandingkan total populasi, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Padahal, konstitusi kita dengan tegas mengamanatkan pemerintah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Perintah ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan,” dan ayat (4) yang menegaskan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi hak pendidikan.”

Ini jelas menunjukkan bahwa konstitusi kita sangat pro-pendidikan. Segala hal terkait pendidikan adalah kewajiban negara sekaligus hak fundamental yang harus diakses oleh setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, maupun geografisnya.

Namun, terdapat kesenjangan besar antara janji konstitusi dan realitas pendidikan di Indonesia. Banyak anak dari keluarga kurang mampu masih kesulitan mengakses pendidikan berkualitas karena berbagai hambatan, seperti:

  • Kurikulum yang terasa “anti-Indonesia”: Kurikulum yang sering berubah dan tidak adaptif terhadap konteks lokal.
  • Sumber Daya Manusia (SDM) guru yang feodal: Kualitas guru yang belum merata, terutama di daerah terpencil.
  • Biaya pendidikan yang besar dan tak terjangkau: Meskipun ada anggaran besar, implementasi di lapangan masih menyulitkan sebagian masyarakat.
  • Akses yang tidak maksimal: Terutama di daerah terpencil, fasilitas pendidikan, SDM, dan dukungan teknologi masih sangat kurang.

Faktor-faktor ini mengakibatkan perbedaan kualitas pendidikan antara pedalaman dan perkotaan semakin lebar. Selain itu, alokasi anggaran pendidikan yang besar seringkali kurang efektif akibat masalah birokrasi dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Untuk mengatasi berbagai problema ini, pemerintah dan warga negara harus berkolaborasi. Tujuannya adalah memastikan bahwa pendidikan di Indonesia adalah realisasi dari janji proklamasi, yaitu mencetak patriot negara yang merdeka, mandiri, modern, dan martabat (4M). Inilah profil sarjana dan cita-cita besar kita dalam berpendidikan dan berpengajaran.

Harus diakui bahwa negara kita, Indonesia yang kita warisi dan tinggali, seringkali tidak seindah dan seperti yang diharapkan. Ironisnya, kita seringkali ingin menggambarkan republik ini secara mutlak adil, pasti, bersatu, rapi, dan indah laksana surga di bumi. Padahal, das sollen (apa yang seharusnya) tidak serta merta menjadi das sein (apa yang senyatanya).

Kita bisa menyebutnya sebagai “republik paradoks” dan “negeri kontradiktif.” Dari hipotesa ini, kita menemukan beberapa fakta riil di lapangan:

  • Negeri kaya, tetapi banyak rakyat miskin.
  • Elite beragama, tetapi KKN-nya mmentradisi
  • Negara penuh rumah ibadah, tetapi banjir kemaksiatan.
  • Pemerintahan Pancasila, tetapi membela oligarki hitam.
  • Konstitusi sempurna, tetapi banyak peraturannya mencekik warga negara.
  • Banyak warga negara pintar dan moralis, tetapi banyak pejabatnya maling dan pencopet.
  • Banyak polisi, jaksa, dan hakim, tetapi penjahat makin banjir.
  • Yang jenius jadi oposisi, yang jahiliyah jadi pejabat.
  • Sarjana banyak, tetapi banyak pejabatnya tak berijazah.

Republik paradoks ini pasti tidak mudah diatasi. Hanya melalui pendidikan yang berkarakter Indonesia, problema ini harus dipecahkan serta ditemukan obat dan solusinya. Dalam berbagai kesempatan, kepala negara kita sering menyampaikan hal ini. Tujuannya tentu agar Indonesia segera menjadi mercusuar dunia.

Presiden menegaskan bahwa tidak ada negara yang bisa mencapai kesejahteraan dan kemajuan tanpa pendidikan yang bermutu. Beliau juga menekankan bahwa kunci utama untuk membangun kemandirian nasional di berbagai sektor strategis adalah melalui pendidikan yang berkualitas dunia. Penegasan tersebut disampaikannya saat memimpin rapat terbatas bersama jajaran menteri Kabinet Merah Putih di kediaman pribadinya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Senin, 23 Juni 2025.

Pesan dan perintahnya jelas: pendidikan dan pengajaran adalah kunci. Semoga agensi dan para menterinya memahami dan merealisasikannya segera. (**)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *