KOLABORASI SEHAT ADALAH PILAR EKONOMI NASIONAL

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) Dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Otoritas.co.id — Tidak ada negara Pancasila tanpa gotong-royong. Tidak ada “kita” tanpa kolaborasi. Gotong-royong, kolaborasi, dan kerja sama yang sehat adalah roh dan operasi dasar negara Pancasila. Karena itu, bila persaingan harus ada, maka ia hanya boleh hadir dalam bentuk persaingan yang sehat — adil, terbuka, dan berkeadilan.
Prinsip inilah yang menjadi ruh Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional (RUUPN). Dalam rancangan tersebut, konsep “kompetisi bebas” tidak dimaknai secara liberal, melainkan diubah menjadi prinsip dasar ekonomi Pancasila, yakni kompetisi yang adil di bawah pengawasan negara untuk melindungi kepentingan rakyat.
Negara diberi mandat untuk memastikan setiap pelaku usaha — baik besar maupun kecil — memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh. Tidak boleh ada praktik monopoli, kartel, oligopoli, mafia, atau dominasi pasar yang merugikan warga negara.
Di sinilah perbedaan mendasar antara sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi nasional. Jika ekonomi liberal melepaskan pasar tanpa kendali, maka ekonomi Pancasila mengatur pasar agar adil. Persaingan sehat bukan tentang siapa yang paling kuat, tetapi tentang sistem yang paling adil.
Negara tidak hadir untuk membunuh inisiatif, melainkan untuk menjaga keseimbangan agar pasar tidak dikuasai oleh segelintir kelompok. Karena itu, RUUPN menegaskan kewajiban negara menciptakan mekanisme pengawasan, perlindungan, dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Dengan begitu, kompetisi menjadi ruang untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi, bukan alat penindasan terhadap usaha kecil dan menengah.
Ekonomi yang sehat hanya lahir dari pasar yang bersih dan transparan. Harga, informasi, dan akses sumber daya harus terbuka, agar pelaku usaha bersaing berdasarkan kemampuan, bukan kedekatan dengan kekuasaan. Prinsip ini sekaligus mengandung dimensi moral dan etika bisnis — sebagaimana semangat ekonomi Pancasila: efisiensi tanpa eksklusi, pertumbuhan tanpa keserakahan, dan kemajuan tanpa penindasan.
Di tingkat global, tekanan pasar bebas telah menjebak banyak negara berkembang dalam sistem oligopoli. Di Indonesia, gejala ini tampak dari dominasi segelintir perusahaan besar di sektor pangan, energi, dan digital. Bila dibiarkan, hal ini akan menimbulkan ketimpangan struktural yang mengancam kedaulatan ekonomi nasional.
RUUPN hadir untuk mengoreksi keadaan ini. Negara bukan hanya wasit, tetapi penjaga moral pasar, memastikan agar keadilan sosial ekonomi tetap hidup.
Kebijakan persaingan sehat juga menjadi bentuk perlindungan terhadap pelaku usaha kecil, menengah, dan koperasi — tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintah harus menjamin agar regulasi, perizinan, dan pembiayaan tidak hanya berpihak pada korporasi besar, tetapi juga pada rakyat yang berjuang di sektor produktif.
Prinsip “equal opportunity and treatment” bukan sekadar jargon, melainkan perintah konstitusional. Setiap warga negara berhak bersaing secara adil dan bermartabat dalam pasar nasional.
Untuk memastikan hal itu, RUUPN mengusulkan pembentukan lembaga pengawas independen seperti Komisi Persaingan Sehat, Komisi Harga, dan Komisi Energi. Lembaga-lembaga ini diharapkan menjadi benteng hukum yang menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial — wujud nyata sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
RUUPN juga secara tegas menolak praktik predator capitalism dan private market tertutup yang menelan pelaku usaha kecil demi kepentingan segelintir modal besar. Sistem ekonomi yang menindas dan eksklusif itu bertentangan dengan roh Pancasila yang menempatkan kemanusiaan dan keadilan sebagai orientasi utama pembangunan.
Karena itu, RUU ini berfungsi sebagai pagar ideologis agar pasar tetap tunduk pada kepentingan publik, bukan pada kekuasaan modal.
Pada akhirnya, kebijakan persaingan sehat adalah jantung demokrasi ekonomi Indonesia. Tanpa keadilan di bidang ekonomi, demokrasi kehilangan makna sosialnya. Tanpa gotong-royong, muncullah gotong-nyolong; tanpa kolaborasi, terjadilah dominasi; tanpa kerja sama, tumbuhlah penindasan.
Maka, pemerintah harus berani menegakkan aturan, menindak penyalahgunaan kekuasaan pasar, dan melindungi hak setiap pelaku usaha untuk tumbuh bersama. Dengan begitu, ekonomi Indonesia bukan hanya kuat dan modern, tetapi juga manusiawi, berdaulat, dan berpihak pada kesejahteraan bersama. (**)