22 Juni 2025

Ironi Pasar Bebas dan Jalan Menuju Kedaulatan Bangsa

0
IMG-20250617-WA0011

Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre

OTORITAS.co.id – Dalam pidatonya di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, Presiden Prabowo menyoroti dominasi filosofi pasar bebas kapitalis klasik neoliberal selama 30 tahun terakhir di Indonesia. “Pada dasarnya cenderung ‘laissez-faire’ (pasar tanpa intervensi negara), di mana elite Indonesia mengikuti filosofi ini tapi tidak berhasil mengantarkan Indonesia ke kondisi kemakmuran maksimal,” ujar Presiden.

Namun, Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre, memandang pernyataan Presiden sebagai “kontradiksi dalam tindakan” yang ironis. Menurutnya, tesis mengenai dominasi pasar bebas ini bukanlah hal baru, sudah disuarakan berulang kali oleh para ekonom strukturalis sejak 1974, terutama saat dominasi utang luar negeri semakin terasa. Namun, tesis tersebut selalu kalah dan dilibas oleh elite pemerintah yang sebagian besar adalah “agen” mazhab neoliberal.

Ketika pemikiran ekonomi strukturalis dilibas, dampaknya terasa pada sembilan aspek kehidupan warga negara, yang disebut Yudhie Haryono sebagai “sembilan K”: ketidakberdaulatan, kebodohan, kemiskinan, kesenjangan, kesakitan, konflik, ketidaksalingpercayaan, kepengangguran, dan keterjajahan baru.

Induk dari semua permasalahan ini adalah ketidakberdaulatan. Ketidakberdaulatan berarti hilangnya atau berkurangnya kemampuan negara untuk mengambil keputusan politik, ekonomi, dan sosial secara mandiri, serta tidak memiliki kendali penuh atas wilayah dan sumber daya (baik manusia maupun alam). Ini membuat sendi-sendi kehidupan bangsa (ipoleksosbudhankam) menjadi rapuh dan rentan terhadap infiltrasi dan substitusi oleh “penjajah baru” melalui agen-agen asing, aseng, dan asong.

Fenomena ketidakberdaulatan ini paling nyata terlihat pada sektor politik, ekonomi, teritorial, hukum, energi, dan pangan. Situasi diperparah karena banyak elite di Indonesia dianggap sebagai “mata-mata” yang melayani jaringan global dan kaki tangan mazhab ultraneoliberal yang memuja pasar bebas.

Secara epistemologis, ketidakberdaulatan ini paling telanjang terjadi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Indonesia disebut tidak memiliki kendali penuh atas riset, pengembangan, penerapan, dan pemanfaatan IPTEK. Hal ini disebabkan oleh matinya nalar, pemujaan mitos, ketergantungan pada negara lain dalam hal teknologi, kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas, serta lemahnya regulasi dan infrastruktur pendukung.

Padahal, tujuan utama IPTEK adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. IPTEK adalah kunci ontologis bagi peradaban besar; siapa yang menguasai dan mengembangkannya akan jaya dan berwibawa. Sebaliknya, siapa yang menganaktirikan IPTEK akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu, untuk mencapai kedaulatan, IPTEK adalah kunci utama.

Dalam kedaulatan IPTEK terdapat inovasi. Inovasi adalah proses meriset, menciptakan, memperkenalkan, mentradisikan, dan menerapkan sesuatu yang baru, baik berupa produk, layanan, proses, atau ide, yang memberikan nilai tambah atau perbaikan. Inovasi tidak selalu berarti penemuan baru, tetapi juga pengembangan atau perbaikan dari hal yang sudah ada, seperti teori ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Singkatnya, inovasi adalah kunci IPTEK untuk mencapai kedaulatan, kemajuan, modernisasi, dan martabat dalam bernegara.

Mengingat masalah-masalah yang ada, inovasi pendidikan menjadi tugas yang sangat penting. Dari sanalah agen-agen patriotik akan diproduksi. Inovasi pendidikan bertujuan untuk menerapkan ide-ide brilian, konsep-konsep jenius, metode-metode canggih, dan teknologi terbaru untuk meningkatkan kualitas, kolaborasi, dan relevansi proses pembelajaran kemanusiaan.

Dengan demikian, inovasi ini diharapkan dapat mengatasi semua masalah yang dihadapi dalam sistem peradaban, serta menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, termasuk memahami bahaya “penjajahan baru” dan cara mengalahkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *