GSBK Sindir Keras Putusan MK: Wamen Itu Dhuafa, Harus Dipelihara Negara!

Jakarta, otoritas.co.id – Pernyataan Ketua MPR RI Ahmad Muzani yang menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019 soal larangan rangkap jabatan menteri dan wakil menteri kembali menuai kontroversi. Muzani menegaskan bahwa isi pertimbangan hukum dalam putusan tersebut bukanlah keputusan yang bersifat mengikat, sehingga tidak wajib dilaksanakan.
Sikap ini langsung mendapatkan dukungan—dengan nada sindiran tajam—dari Koordinator Nasional Gerakan Santri Biru Kuning (GSBK), Febri Yohansyah. Dalam pernyataannya, Febri menyebut bahwa publik seharusnya bersimpati pada para wakil menteri (wamen) yang bisa kehilangan jabatan empuk sebagai komisaris BUMN.
“Kasihan para Wamen yang sedang enak-enak duduk dengan gaji dan tunjangan tinggi sebagai komisaris BUMN, tiba-tiba harus dipecat atau disingkirkan. Jelas ini tindakan tidak berperikemanusiaan,” ujar Febri, Jumat (25/7/2025).
Lebih jauh, ia menyebut para Wamen sebagai kelompok yang patut mendapatkan perlindungan negara, layaknya fakir miskin dan anak terlantar.
“Wamen itu fakir miskin, anak yatim, dan makhluk terlantar. Mereka butuh diselamatkan dari PHK sebagai komisaris BUMN. Ini jelas semangat Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945: ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’. Jangan biarkan mereka kelaparan hanya karena putusan MK,” sindirnya tajam.
Febri juga menilai langkah Ahmad Muzani sudah sangat tepat dalam membela para pejabat yang menikmati kenyamanan rangkap jabatan.
“Pak Muzani tidak usah memikirkan ribuan sarjana yang menganggur. Tidak perlu peduli dengan rakyat yang kehilangan pekerjaan. Yang penting para Wamen tetap punya kursi, tetap bergaji. Mereka ini lebih butuh dari rakyat biasa. Mereka makhluk spesial,” lanjutnya, dengan nada sarkastik.
Fenomena rangkap jabatan di kalangan pejabat negara, khususnya di lingkungan kementerian dan BUMN, bukan isu baru. Namun, keberanian sebagian elite mempertahankan praktik ini dinilai mencederai semangat reformasi birokrasi dan efisiensi anggaran negara.
Putusan MK memang menyatakan bahwa rangkap jabatan menteri atau wakil menteri sebagai komisaris BUMN bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Namun karena disampaikan dalam bentuk obiter dictum—pertimbangan hukum non-mengikat—maka celah hukum ini dimanfaatkan oleh sejumlah pejabat untuk mempertahankan privilese mereka.
Sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi dan pengangguran tinggi, elit politik justru sibuk mempertahankan kenyamanan ganda di dua kursi sekaligus: kekuasaan dan bisnis negara.