Empat Pilar Kebangsaan Bukan Sekadar Hafalan, tapi Sistem Nilai Kehidupan Berbangsa

Jakarta, Otoritas.co.id — Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan kembali menegaskan bahwa Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar konsep normatif atau hafalan seremonial, melainkan fondasi nilai kehidupan berbangsa yang harus terus diinternalisasi dan diwariskan lintas generasi.
Kegiatan yang digelar pada Senin, 22 Desember 2025, di Hotel 1O1 URBAN Jakarta Kelapa Gading tersebut menghadirkan Prianda Anatta, dosen sekaligus konsultan manajemen dan komunikasi politik, sebagai narasumber utama. Sosialisasi diikuti oleh anggota IPJI se-DKI Jakarta dan anggota Bang Japar se-Jakarta Utara serta relawan Adang Daradjatun se-Jakarta Utara dengan antusias.

Turut hadir Iko Setiawan, SE, Ketua Bang Japar Jakarta Utara; Andi Muhamad Nirwansyah, Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI); serta jajaran Ketua DPC IPJI se-Jakarta, sebagai bentuk dukungan terhadap penguatan nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat.
Dalam paparannya, Prianda Anatta menegaskan bahwa Empat Pilar harus dipahami sebagai satu kesatuan konsep. Pancasila menjadi “sahabat hidup” bangsa Indonesia, UUD 1945 berfungsi sebagai konstitusi dan pengatur pemerintahan, NKRI sebagai bentuk negara yang final, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai payung persatuan di tengah keberagaman.
“Empat Pilar ini menjadi bagian penting yang harus terus kita sosialisasikan, karena sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki proses sejarah yang berbeda dibandingkan negara lain,” ujar Prianda.
Ia menjelaskan bahwa perjalanan ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan besar, termasuk pada awal 1950-an ketika Indonesia sempat berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca perjanjian internasional. Pada masa itu, wilayah Indonesia dibagi ke dalam beberapa bagian, sementara Republik Indonesia hanya berada di Pulau Jawa dengan pusat di Jakarta. Namun, sistem tersebut dinilai tidak sesuai dengan karakter bangsa.
“Melalui mandat Badan Konstituante, Indonesia kemudian kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kembali menganut UUD 1945,” jelasnya.
Prianda juga menguraikan dinamika perubahan konstitusi pasca reformasi. Menurutnya, amandemen UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 2000 membawa perubahan fundamental, di antaranya penegasan Indonesia sebagai negara hukum, penguatan sistem presidensial, serta perubahan mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
“Perubahan struktur ketatanegaraan dari dominasi MPR ke sistem pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif merupakan bagian dari amandemen penting, namun seluruh perubahan tersebut tetap berpijak pada nilai-nilai Pancasila,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa NKRI merupakan pilar yang tidak dapat ditawar, mengingat Indonesia adalah negara yang sangat plural dan beragam. Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan ribuan kelompok etnis yang hidup dengan latar belakang budaya, bahasa, dan agama yang berbeda.
“Keberagaman ini harus dijaga. Tidak boleh ada disintegrasi. Karena itu, kita membutuhkan payung pemersatu, yakni Bhinneka Tunggal Ika,” tegas Prianda.
Ia menjelaskan bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika telah hidup sejak era Kerajaan Majapahit, ketika dua agama besar hidup berdampingan dan tercermin dalam peninggalan sejarah seperti candi-candi. Nilai tersebut menjadi dasar bahwa perbedaan bukan alasan perpecahan, melainkan kekuatan persatuan.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, Prianda menilai nilai-nilai Empat Pilar sejatinya telah dijalankan masyarakat Indonesia, mulai dari toleransi antarumat beragama, kepedulian sosial saat terjadi bencana di berbagai daerah, hingga semangat menjaga keamanan dan ketertiban bersama.
“Tantangan kita ke depan adalah bagaimana memastikan nilai Empat Pilar ini diterima dan dipahami oleh generasi muda, termasuk generasi digital, agar keberlangsungan bangsa tetap terjaga,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan adanya ancaman laten terhadap persatuan bangsa, baik dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila maupun dari melemahnya rasa toleransi dan kepedulian sosial. Oleh karena itu, penguatan Empat Pilar dinilai menjadi pondasi penting untuk menjaga persatuan nasional.
“Minimal yang harus kita perkuat adalah toleransi dan rasa peduli sosial, agar kita tetap merasa sebagai satu saudara sebangsa dan setanah air,” pungkasnya.
Melalui kegiatan sosialisasi ini, diharapkan anggota Bang Japar, relawan Adang Daradjatun, serta jajaran IPJI dapat menjadi agen penguatan nilai-nilai kebangsaan di tengah masyarakat, sekaligus memperkuat kolaborasi antara organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan insan pers dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (**)
