Ekonomi Pancasila Bermula dari Koperasi

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
OTORITAS.co.id – Hari Koperasi Nasional yang diperingati setiap 12 Juli menjadi momen tepat untuk merefleksikan arah ekonomi bangsa. Mari kita mulai dengan pertanyaan mendasar: Dari mana sesungguhnya ekonomi Indonesia bermula? Dari Koperasi. Dan apa lembaga utama keekonomian kita? Jawabannya pun jelas: Koperasi.
Karena itu, menghidupkan kembali koperasi dan menjadikannya sebagai soko guru perekonomian nasional adalah keniscayaan. Ini adalah cita-cita bernegara, mandat konstitusi, dan antitesis terhadap sistem ekonomi lainnya. Tanpa koperasi, rasanya republik ini tidak layak disebut Negara Pancasila. Sebab, Negara Pancasila adalah negara yang “dari koperasi, oleh koperasi, dan untuk koperasi.”
Penting sekali untuk menggarisbawahi hal ini. Di tengah derasnya arus globalisasi dan liberalisasi pasar, ekonomi Indonesia seringkali tampak seperti kapal besar yang berlayar tanpa arah ideologis yang jelas. Sejarah sering buram, pandangan kita miopik, dan kejeniusan para pendiri bangsa kerap terlupakan. Yang terjadi, negara tidak hadir sebagai regulator maupun pemain yang unggul. Korporasi justru tumbuh sebagai kekuatan dominan, dan warga negara menjadi objek dalam sistem yang tidak mereka kuasai. Pertanyaan mendasarnya, “siapa sebenarnya yang memiliki dan mengendalikan ekonomi nasional? Apakah ekonomi ini masih milik Indonesia, atau telah terlepas ke tangan segelintir pemilik modal dan kekuatan asing?”
Untuk menjawabnya, kita perlu menengok kembali gagasan-gagasan asli para arsitek ekonomi bangsa: Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Soemitro Djojohadikusumo, dan Mubyarto. Empat nama besar ini mewakili spektrum pemikiran ekonomi Indonesia, mulai dari fokus pada warga negara hingga peran negara dan pasar. Dari keempatnya, kita menemukan benang merah yang penting dan selaras: ekonomi harus melayani warga negara, mengutamakan kepentingan nasional, dan memastikan kedaulatan bangsa. Jadi, Ekonomi Pancasila itu bersendi pada kemandirian, keberlanjutan, humanitas, kegotong-royongan, keadilan sosial, dan peradaban.
Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, melihat ekonomi nasional bukan sekadar alat akumulasi modal, melainkan sarana pembebasan warga negara. Koperasi bagi Hatta bukanlah organisasi dagang biasa, melainkan bentuk perjuangan, organ perlawanan terhadap kolonialisme, dan antitesis terhadap sistem kapitalisme. Koperasi merupakan sistem produksi dan distribusi yang adil, partisipatif, dan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Dalam kerangka berpikir Hatta, koperasi adalah jalan untuk mewujudkan sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baginya, jika koperasi tidak diperkuat, maka ekonomi Indonesia akan dikuasai kapitalisme asing, dan warga negara akan kembali menjadi penonton.
Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Mubyarto datang dengan pendekatan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Keduanya membawa disiplin perencanaan pembangunan ekonomi makro dengan orientasi pemerataan. Mereka membangun institusi perencana, merumuskan pembangunan lima tahun, dan menjaga stabilitas ekonomi nasional dengan kerangka yang logis, terukur, dan terencana. Dari keduanya, kita memahami filosofi Ekonomi Pancasila sebagai landasan, dan praktik keuangan nasional (perbankan) sebagai alat strategis untuk menyalurkan kebijakan fiskal dan pembiayaan pembangunan.
Berbeda dengan ketiganya, Soemitro Djojohadikusumo memosisikan diri sebagai ekonom realistis-pragmatis. Ia tidak menutup pintu pada modal asing atau korporasi swasta besar, selama mereka dapat dijadikan alat untuk mempercepat industrialisasi dan pembangunan nasional. Baginya, ekonomi adalah alat kekuasaan. Ia percaya bahwa negara harus memiliki kekuatan di pasar, dan bahwa pembangunan harus digerakkan oleh institusi yang efisien dan berdaya saing, entah itu BUMN, bank negara, atau perusahaan nasional lainnya. Meskipun koperasi bukan fokus utama dalam pikirannya, Soemitro tetap melihat pentingnya membangun kekuatan ekonomi nasional yang mandiri dan tidak tergantung.
Dalam konteks kekinian, Indonesia memiliki instrumen strategis yang sangat berdaya: HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara). Mereka bisa diandalkan dalam usaha menyehatkan ekonomi kita serta menghalau krisis. Bank-bank milik negara seperti BRI, Mandiri, BNI, dan BTN telah menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi dalam era digital, ekspansi layanan, serta mendukung program nasional seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Peran mereka sangat sentral dalam menopang sistem keuangan dan pembiayaan nasional, termasuk bagi pelaku UMKM. Justru dengan kekuatan dan jangkauan mereka saat ini, HIMBARA memiliki potensi besar untuk mengambil peran lebih besar dalam memperkuat ekonomi rakyat berbasis kolektif, yaitu koperasi.
BRI, misalnya, yang memiliki sejarah sebagai Bank Rakyat Indonesia, bisa memperluas kembali dukungannya terhadap koperasi produksi, koperasi tani dan nelayan, hingga koperasi digital. Kemitraan strategis antara HIMBARA dan koperasi tidak hanya mungkin, tetapi harus dirancang ulang sebagai sinergi antara kekuatan negara dan kekuatan warga negara. Inilah saatnya HIMBARA bukan hanya menjadi penyedia kredit, tapi juga pembentuk ekosistem ekonomi berbasis komunitas dan kedaulatan lokal. Dari bank, oleh koperasi, dan untuk warga negara. Inilah roadmap-nya.
Maka, dalam kerangka inilah muncul gagasan strategis untuk menjembatani nilai-nilai keadilan sosial ala Hatta, pendekatan TSM ala Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Mubyarto, serta strategi kekuasaan ala Soemitro. Pikiran keempatnya disatukan dalam jalan ekonomi baru, yaitu: Jalan Koperasi Merah Putih.
Di sini, Koperasi Merah Putih bukanlah koperasi dalam pengertian lama. Ia bukan hanya koperasi simpan pinjam, koperasi sekolah, atau koperasi seremonial. Ia adalah entitas ekonomi warga negara yang dibangun secara modern, profesional, dan berbasis digital. Ia terhubung dengan HIMBARA, difasilitasi negara, dan disiapkan untuk bersaing dalam rantai pasok global. Koperasi Merah Putih bergerak di sektor pangan, energi, teknologi, perikanan, logistik, bahkan fintech dan ekspor-impor. Ia bukan simbol masa lalu, tetapi kendaraan masa depan. Metode, lembaga, dan agensi canggih demi Indonesia raya dan jaya.
Dalam format ini, koperasi bukan sekadar alat bantu, tapi menjadi aktor utama. Warga negara tidak lagi sekadar pasar, tetapi pemilik dan pelaku utama ekonomi (lokal, regional, nasional, dan internasional). HIMBARA menjadi mitra utama koperasi, bukan kompetitor. Negara kembali menjalankan fungsinya sebagai pengarah, bukan hanya fasilitator dan regulator. Dan, kekuatan ekonomi nasional benar-benar tumbuh dari bawah ke atas, dari warga negara, oleh warga negara, untuk kedaulatan bangsa, kemodernan negara, serta peradaban semesta Pancasila.
Saatnya Indonesia kembali ke rumah besar negara-bangsa. Bukan rumah yang dibangun oleh pasar bebas maupun modal asing, tapi rumah yang dibangun oleh nilai-nilai gotong royong, kemandirian, dan solidaritas ekonomi. Rumah itu bernama Koperasi. Dan, dalam wajah baru yang lebih tangguh, profesional, dan berdaulat itulah kita sebut “Koperasi Merah Putih.” Ayok berani, lakukan, segerakan, kini bukan nanti.