22 Desember 2025

Ekonomi Indonesia Dinilai Stagnan Jelang 2026, Pakar Soroti Lemahnya Akselerasi Pertumbuhan

0
IMG-20250701-WA0026

Jakarta, Otoritas.co.id – Menjelang akhir tahun 2025, sejumlah pengamat ekonomi menilai arah perekonomian dan politik ekonomi (ekopol) Indonesia masih berada dalam fase stagnasi. Meski memiliki fondasi yang relatif kuat, laju pertumbuhan ekonomi dinilai berjalan terlalu lambat untuk mampu bersaing dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia.

Presidium Forum Negarawan, Yudhie Haryono, bersama Ekonom Universitas MH Thamrin, Agus Rizal, menyebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 diperkirakan hanya berada di kisaran 4,9 hingga 5,1 persen. Angka tersebut memang stabil, namun belum cukup untuk mendorong akselerasi transformasi ekonomi nasional.

“Indonesia memasuki 2026 dengan pijakan yang cukup kuat, tetapi langkahnya sangat pelan. Ini seperti ungkapan ‘alon-alon asal klakon’, namun dunia tidak menunggu,” ujar Yudhie dalam refleksi akhir tahun bertajuk Ekonomi Tanpa Lentingan.

Menurut keduanya, stagnasi ini tidak hanya dipicu oleh tekanan eksternal, seperti perang tarif resiprokal Amerika Serikat, tetapi juga oleh belum sinkronnya kebijakan fiskal, moneter, konsumsi, dan investasi di dalam negeri. Arsitektur kebijakan ekonomi lama dinilai masih menyisakan banyak kelemahan struktural.

Tekanan eksternal akibat kebijakan tarif AS membuat dunia usaha dan investor global bersikap wait and see. Beberapa negara pesaing seperti Vietnam dan Taiwan justru berhasil memperoleh tarif nol persen melalui negosiasi dagang yang lebih agresif. Dampaknya, Indonesia mengalami penurunan pesanan ekspor, khususnya pada sektor pakaian, peralatan listrik, dan furnitur.

Di dalam negeri, investasi yang diharapkan menjadi mesin pertumbuhan juga belum optimal. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) memang meningkat, namun Penanaman Modal Asing (PMA) justru menurun akibat kebijakan yang dianggap kurang ramah investor global.

Program hilirisasi mineral dinilai berhasil mendorong industri logam dasar, namun terlalu bertumpu pada sektor padat modal yang minim penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya, industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan makanan olahan semakin tertekan oleh impor murah serta praktik mafia impor, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penciptaan lapangan kerja.

Dalam situasi global yang tidak menguntungkan, pasar domestik kembali menjadi penopang utama ekonomi nasional. Aktivitas perdagangan, retail, logistik, dan transportasi lokal tetap bergerak berkat konsumsi dasar masyarakat. Namun, ketergantungan pada konsumsi dinilai tidak cukup untuk mempercepat pertumbuhan karena tidak memperkuat kapasitas produksi nasional.

Contoh nyata terlihat pada sektor pertanian, khususnya komoditas kakao. Sepanjang 2025 hingga awal 2026, permintaan global melemah, namun harga kakao tetap naik akibat penurunan produksi nasional yang disebabkan cuaca, rendahnya produktivitas, dan minimnya peremajaan tanaman. Kondisi ini menguntungkan petani dalam jangka pendek, tetapi mengancam keberlanjutan industri jika tidak dibarengi peningkatan produktivitas dan pengolahan domestik.

Sinyal pelemahan juga tampak dari konsumsi rumah tangga. Upah riil tercatat menurun di tiga sektor utama penyerap tenaga kerja, yakni manufaktur, perdagangan, dan konstruksi. Akibatnya, belanja masyarakat tertahan, penjualan rumah menengah-besar dan kendaraan bermotor menurun, serta penerbangan komersial masih sepi.

Dari sisi fiskal, pemerintah mengalihkan belanja ke program massal seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa. Meski mampu menggerakkan ekonomi jangka pendek, kebijakan ini dinilai mengorbankan belanja modal dan transfer ke daerah yang justru penting bagi pertumbuhan jangka panjang. Target penerimaan pajak yang terlalu optimistis serta meningkatnya beban bunga utang semakin mempersempit ruang fiskal.

Sementara itu, Bank Indonesia menghadapi dilema kebijakan moneter. Penurunan suku bunga berisiko melemahkan nilai tukar rupiah, sedangkan suku bunga tinggi membuat penyaluran kredit ke sektor riil tersendat. Meski likuiditas perbankan melimpah, kredit produktif tetap tumbuh lambat dan suku bunga kredit bank persero justru meningkat.

Dalam kondisi tersebut, Yudhie dan Agus menilai Indonesia membutuhkan penopang pertumbuhan berbasis produksi, bukan semata stimulus konsumsi. Salah satu solusi strategis adalah penguatan koperasi produksi yang mampu menghubungkan petani, UMKM, dan industri kecil dengan pasar domestik maupun global.

“Koperasi produksi menciptakan daya tawar kolektif, memperbesar skala usaha, menjaga harga, dan menyerap tenaga kerja secara lebih merata,” kata Agus Rizal.

Keduanya menegaskan, Indonesia saat ini bukan kekurangan daya tahan, melainkan kekurangan percepatan. Tanpa rekonstruksi mesin ekonomi—mulai dari penguatan industri padat karya, penegakan keadilan pasar, peningkatan belanja modal produktif, percepatan kredit sektor riil, hingga penguatan koperasi produksi—Indonesia dikhawatirkan hanya menjadi negara yang stabil namun berjalan di tempat.

“Jika tidak segera dilakukan perubahan mendasar, Indonesia akan tetap kuat bertahan, tetapi lambat bertumbuh,” pungkas Yudhie. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

slot thailand slot thailand mix parlay slot4d slot mpo slot4d slot4d slot4d toto 4d slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor slot gacorBOSCUAN303 DAFTAR BOSCUAN303 BOSCUAN303 BOSCUAN303 BOSCUAN303 SITUS BOSCUAN303 BOSCUAN303 SLOT88 RESMIhttps://www.compagniedujour.net/telechargements/ https://www.compagniedujour.net/blog/ https://www.compagniedujour.net/formation-professionnelle-2/https://biotechpmep.da.gov.ph/wp-content/boscuan303/https://member.starpage.id/checkout/ https://member.starpage.id/login/https://lp.fabron.id/product/