Ekonomi Bersentosa

Oleh: Yudhie Haryono | CEO Nusantara Centre
Otoritas.co.id – Kabar bahagia itu datang lebih cepat dari dugaan. Sabtu sore, saat dedaunan jambu memenuhi halaman rumah, sebuah surat tiba. Isinya singkat namun menggugah:
“Besok kita mulai menapaki satu demi satu pasal-pasal dalam gelak tawa pikiran jenius perlawananmu.”
Surat itu ditulis oleh Adiaksa Wibowo, mahasiswa doktoral Universitas Semesta yang tengah meneliti soal “kudeta konstitusi.” Menurutnya, fenomena itu telah membuat bangsa ini terjebak dalam teater paria yang hina.
Kami kemudian bertemu di sebuah kafe di Cikini. Adiaksa datang bersama sepuluh pakar muda ekonomi-politik. Mereka menyebut diri sebagai patriot Pancasila, generasi yang siap melawan kedunguan.
Yaya Sunaryo, salah seorang peserta, membuka diskusi dengan kalimat tajam:
“Seringkali kita berpikir bahwa kemenangan adalah sesuatu yang harus dicari. Padahal, kemenangan sejati adalah keadaan pikiran yang bisa kita gali, kembangkan, dan tradisikan.”
Ia mengutip John Maynard Keynes (1883–1946): “Tidak ada yang penting kecuali keadaan pikiran, terutama pikiran kita sendiri.”
Pernyataan itu membuat semua terdiam. Sebuah kesadaran sederhana namun dalam: kemenangan lahir dari perubahan cara berpikir, bukan semata kondisi eksternal.
Bagi bangsa Indonesia, neoliberalisme adalah jalan gelap: tanpa kebenaran, keadilan, kesentosaan, kemanusiaan, maupun kebahagiaan. Yang tersisa hanyalah keserakahan, kebejatan, dan penderitaan rakyat.
Maka, sistem itu harus ditolak. Bahkan, jika perlu, “ditikam tepat di jantungnya.” Karena hanya dengan begitu bangsa ini bisa terbebas dari status paria dan kembali menemukan kehormatan.
Solusinya adalah membangun kembali negeri berdasarkan Pancasila—lima sila yang satu, bintang penuntun kehidupan. Undang-undang perekonomian nasional harus memastikan perlindungan, kesejahteraan, kecerdasan, dan keteraturan bagi rakyat.
Ironisnya, meski Indonesia memiliki tambang terbesar di dunia (CNBC, 2024), kemiskinan kita masih berada di peringkat kedua dunia setelah Zimbabwe (WB, 2025). Sebuah anomali yang mencerminkan betapa akutnya kesalahan sistemik.
Karena itu, kesadaran profetik harus hadir. Upaya menyentosakan rakyat adalah jihad ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan amanat konstitusi. Para pemikir dan pejuang ekonomi bangsa harus bekerja keras—menyusun undang-undang yang benar-benar berpihak pada rakyat, dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Saat magrib tiba, kegelisahan pun mereda. Harapan tentang “ekonomi bersentosa”—ekonomi yang sejahtera lahir batin, dunia akhirat—kian terasa nyata. Sebuah gagasan yang lama terkubur oleh amuk neoliberalisme, kini saatnya dihidupkan kembali.
Bangsa ini terlalu lama dipaksa hidup dalam sistem ekonomi bak kasino: aturan mainnya dirancang hanya untuk menguntungkan bandar, konglomerat, dan oligarki.
Kini waktunya mengubah keadaan pikiran. Menegakkan kembali sistem ekonomi Pancasila sebagai pondasi. Sebab, justru “sistem” itulah pangkal kedunguan dan penderitaan rakyat.