31 Juli 2025

Deindonesianisasi, Demoralisasi, dan Deindustrialisasi: Ancaman Pasca Kudeta Konstitusi

0
IMG-20250713-WA0041

Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre

 

Otoritas.co.id – Setelah “kudeta konstitusi”, Indonesia menghadapi tiga ancaman besar yang terstruktur, sistematis, dan masif: deindonesianisasi, demoralisasi, dan deindustrialisasi. Ini bukan sekadar masalah kecil; ini adalah kondisi serius yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Deindonesianisasi adalah proses penghapusan identitas bangsa Indonesia, yang secara nyata terlihat ketika perusahaan dan organisasi lebih mengadopsi budaya serta praktik global, kekuatan asing memengaruhi ciri khas Indonesia hingga kita kehilangan jati diri, dan warga negara mengadopsi nilai-nilai asing, melupakan kultur sendiri.

Sistem pendidikan kita, misalnya, tampaknya dirancang untuk menghasilkan pekerja dan distributor, bukan inovator dan pemimpin. Ini adalah contoh nyata bagaimana kita secara tidak sadar memeluk deindonesianisasi. Ketika kita lebih percaya pada tafsir asing daripada teks dan konteks ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan) sendiri, kita sedang menghilangkan keindonesiaan kita.

Menerima deindonesianisasi secara langsung berarti menerima demoralisasi. Moral bangsa Indonesia hancur, bahkan punah. Ini terlihat dari:

  • Warga negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan etika, hanya mementingkan keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok.
  • Sikap aktif menolak atau melanggar nilai-nilai moral, menjadikannya anti-moral.
  • Terlalu banyak kebijakan publik yang tidak berguna dan elite yang tidak bermanfaat.

Tragedi terbesar adalah memiliki presiden dan elite politik yang tidak berempati (tuli, buta, dan bisu) terhadap bangsa dan rakyatnya. Mereka mengembangkan budaya anti-intelektualisme dan anti-inovasi.

Budaya anti-intelektualisme dan anti-inovasi yang dikembangkan elite melahirkan deindustrialisasi. Ini adalah proses penghancuran kegiatan industri yang mengakibatkan:

  • Peningkatan pengangguran.
  •  Penghancuran pertumbuhan ekonomi.
  • Perubahan struktur sosial menjadi masyarakat konsumen, bukan produsen.

Hal ini pada akhirnya menguntungkan importir dan merugikan eksportir. Indonesia menjadi kuat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tetapi lemah dalam etika, moral, dan penegakan hukum. Kita kuat dalam ekstraksi sumber daya alam dan bahan mentah, tetapi sangat lemah di sektor manufaktur, teknologi, dan inovasi.

Ketika deindonesianisasi, demoralisasi, dan deindustrialisasi terjadi secara bersamaan, penderitaan rakyat akan semakin meningkat. Mereka akan menjadi “babu, pengemis, budak, dan pelacur yang dihisap segalanya tanpa harga.”

Untuk menghadapi ini, Indonesia harus melakukan revolusi kelima. Ini berarti pergeseran fundamental dari praktik ekstraksi sumber daya alam menuju reindustrialisasi yang solid, yang berlandaskan moral Pancasila. Tentu, ini tidak akan mudah, karena kelompok pencari rente yang ada akan menolak perubahan. Mereka adalah para rentenir dan “mucikari” yang menjadi “tipe ideal” bagi elite Indonesia, dari profesi apapun mereka berasal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *