31 Oktober 2025

CWIG Desak Pemerintah Blokir Situs PT BAT Instrumen Bank Internasional — Terkuak Kronologi Dugaan Penipuan Rp16 Miliar oleh Sindikat Datok Sulaiman

0
IMG-20251031-WA0086

Jakarta, otoritas.co.id — Kasus dugaan bank bodong berkedok internasional kembali mengguncang publik. Kali ini, Cerdas Waspada Investasi Global (CWIG) menyoroti keberadaan PT BAT Instrumen Bank Internasional (BAT Bank) yang diduga beroperasi tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI), namun secara aktif menawarkan produk perbankan dan investasi bernilai jutaan dolar AS melalui situs resminya, www.batbank.co.id.

Ketua Umum CWIG, Henry Hosang, menegaskan bahwa penggunaan kata “bank” tanpa izin resmi merupakan pelanggaran berat terhadap UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan dapat dikenai pidana hingga 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp200 miliar. Selain itu, aktivitas digital yang menampilkan fasilitas keuangan tanpa dasar hukum jelas berpotensi melanggar UU ITE dan UU OJK No. 21 Tahun 2011.

“Kami mendesak Komdigi dan OJK segera memblokir situs PT BAT Instrumen Bank Internasional serta melakukan langkah hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Ini bukan sekadar pelanggaran administratif — ini indikasi penipuan keuangan lintas negara yang terorganisir,” Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, China dan UEA., tegas Henry Hosang, Jumat (31/10/2025).

Kronologi Dugaan Penipuan Rp16 Miliar: Janji Dana Internasional yang Tak Pernah Cair

Berdasarkan laporan korban yang telah diterima CWIG, sindikat ini dikendalikan oleh sosok bernama Datok Sulaiman alias Achmad Nur Sulaiman alias Dato Abdul Rahim Salim No passport: B3530121 diduga menggunakan berbagai identitas dan jabatan fiktif.
Modus operandi mereka berkedok fasilitas perbankan internasional seperti SBLC, BG, PB, DLC, LC, dan overdraft (OD) hingga USD10 juta, dengan iming-iming pembiayaan proyek di Dubai dan Malaysia.

Berikut rangkuman kronologi terperinci dugaan penipuan yang terjadi antara Mei hingga Oktober 2025:

  1. 11 Mei 2025 — Korban pertama kali didatangi oleh staf PT BAT, Putera Mohd Fahidz bin Mohd Fadzri (Passport No. A55326770), di Malaysia yang menawarkan fasilitas “banking instrument” melalui BAT Bank.
  2. 20–27 Mei 2025 — Korban menerima surat penawaran (offer letter) dan melakukan transfer total IDR 16,55 miliar (setara USD 1 juta) ke rekening Mandiri atas nama BAT Bank sebagai “Platinum Membership Fee”.
  3. 28 Mei 2025 — BAT Bank menyerahkan dokumen Demand Deposit Certificate (DDC) dan menjanjikan pencairan overdraft senilai USD 10 juta dalam 45 hari kerja.
  4. Juni–Agustus 2025 — Korban diarahkan membuka rekening perusahaan melalui Bank Sinarmas dan Bank Mega dengan pendampingan langsung oleh staf BAT Bank. Bahkan surat dan form perbankan palsu diserahkan seolah resmi dari bank tersebut.
  5. 13–22 Oktober 2025 — BAT Bank berkali-kali menerbitkan surat jaminan pencairan dana (15 Oktober, 22 Oktober, 29 Oktober), namun seluruh janji gagal ditepati.
  6. 21–23 Oktober 2025 — Korban bersama pengacara mendatangi kantor BAT Bank di Sampoerna Strategic Square, Jakarta, namun pimpinan dan manajemen menghindar. Pertemuan dengan Datok Sulaiman selalu dibatalkan tanpa alasan jelas.
  7. 29 Oktober 2025 — BAT Bank kembali ingkar janji untuk membayar dana senilai Rp16 miliar, tidak menjawab panggilan, dan menutup komunikasi.

CWIG menilai pola tersebut merupakan indikasi kuat dari tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP), disertai unsur pelanggaran UU Perbankan, UU ITE, dan potensi pencucian uang lintas negara.

“Kasus ini memperlihatkan lemahnya pengawasan negara terhadap entitas keuangan ilegal yang mengatasnamakan ‘bank internasional’.
CWIG akan menyerahkan berkas lengkap ke Bareskrim Polri, OJK, dan Bank Indonesia, agar para pelaku segera ditindak tanpa pandang bulu,” tegas Henry Hosang.

 

CWIG: Negara Jangan Tutup Mata

Henry menegaskan, kasus PT BAT harus menjadi alarm keras bagi otoritas. Dalam situasi di mana masyarakat mudah terbuai oleh jargon internasional, kehadiran hukum dan negara harus nyata, bukan simbolik.

“Negara tidak boleh tutup mata. Jika situs dan kegiatan mereka masih berjalan, maka pemerintah dianggap ikut membiarkan rakyat menjadi korban investasi ilegal, hanya karena kelalaian pengawasan,” pungkas Henry. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *