CBA: Premanisme Sesungguhnya Justru Ada di DPR ?

Jakarta, Otoritas.co.id – Menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, terkait aksi demonstrasi di depan DPR, Center for Budget Analysis (CBA) menegaskan bahwa suara rakyat yang disampaikan lewat aksi unjuk rasa tidak boleh direduksi dengan label negatif seperti “premanisme”.
Direktur CBA, Uchok Sky Khadafi, menyatakan bahwa demonstrasi merupakan hak konstitusional rakyat yang dijamin oleh undang-undang. Menurutnya, jika ada insiden bentrok di lapangan, hal tersebut harus dilihat secara proporsional dan tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskreditkan perjuangan rakyat.
“Yang perlu diingat, rakyat turun ke jalan bukan karena suka ribut, melainkan karena merasa tidak didengar oleh wakilnya di Senayan. Kalau DPR benar-benar membuka ruang dialog, gesekan di lapangan bisa dihindari,” tegas Uchok.
CBA menilai, tanggung jawab utama justru ada pada aparat dan penyelenggara negara untuk memastikan penyampaian aspirasi berlangsung aman dan kondusif, bukan malah memberi stigma buruk terhadap rakyat yang kritis.
“Jangan sampai kritik rakyat dibungkam dengan label anarkis atau premanisme. Itu berbahaya dan bisa menjauhkan DPR dari rakyat yang seharusnya mereka wakili,” tambah Uchok.
CBA juga mendesak DPR agar tidak hanya sekadar mendengar aspirasi secara simbolis, melainkan juga menindaklanjuti dalam bentuk kebijakan nyata yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.
“Kalau DPR benar-benar serius, jangan hanya mendengarkan sambil ‘ngumpet-ngumpet’, tapi harus berani duduk bersama rakyat, mendengar dengan terbuka, lalu mengubah kebijakan yang tidak pro rakyat. Itulah yang akan memulihkan kepercayaan publik,” jelas Uchok.
Lebih jauh, CBA menegaskan bahwa wakil rakyat yang terbukti tidak berpihak kepada rakyat seharusnya diberhentikan dari jabatannya. Menurut Uchok, keberadaan anggota DPR yang hanya mengedepankan kepentingan elit dan menutup telinga terhadap suara rakyat justru merugikan demokrasi.
“Rakyat sudah muak dengan wakil yang hanya bicara soal fasilitas, tunjangan, atau kepentingan kelompoknya. Kalau mereka tidak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat, sebaiknya diberhentikan saja. Kursi DPR bukan tempat untuk menindas suara rakyat,” tegas Uchok.
Uchok menambahkan, premanisme yang sesungguhnya justru ada di kalangan wakil rakyat sendiri. Ia mencontohkan, banyaknya kasus korupsi yang menjerat anggota DPR tetapi hingga kini belum tuntas dan bahkan dibiarkan begitu saja.
“Kalau mau bicara premanisme, yang lebih tepat disebut preman adalah wakil rakyat yang merampok uang negara, melanggar undang-undang, dan terlibat dalam praktik korupsi berjamaah. Itu premanisme politik yang nyata, yang justru merugikan jutaan rakyat Indonesia,” pungkas Uchok. (**)