CBA Desak Presiden Prabowo Segera Bayar Hak Keuangan Kelompok Ahli BPP Papua

JAKARTA, OTORITAS.co.id – Center For Budget Analysis (CBA) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membayarkan hak keuangan tujuh anggota Kelompok Ahli Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BPP). Hak-hak tersebut, yang seharusnya mereka terima sejak ditetapkan dalam Surat Keputusan Nomor 02 Tahun 2023 oleh Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, hingga kini belum terealisasi.
Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, menyampaikan keprihatinannya melalui surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Prabowo. “Mereka ini sudah bekerja dan mengabdi kepada negara, tapi hingga hari ini belum mendapatkan hak-hak keuangan mereka. Pemerintahan Presiden Jokowi dan kini Prabowo terkesan abai,” kata Uchok pada Senin (21/7).
Uchok menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 25 Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2022 tentang BPP, kelompok ahli berhak menerima keuangan, tunjangan kinerja, dan fasilitas pendukung lainnya.
“Kami di CBA mendesak Presiden Prabowo untuk segera menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai rezim ini mengulangi kesalahan lama: membiarkan pengabdian orang-orang cerdas dan berdedikasi tanpa penghargaan,” tambahnya.
Ia bahkan menyamakan situasi BPP dengan perusahaan yang tidak membayar gaji tenaga ahlinya. Menurut Uchok, jika hal ini terjadi pada perusahaan swasta, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer pasti sudah bersuara lantang. “Bayangkan kalau BPP itu sebuah perusahaan dan tidak membayar gaji para tenaga ahlinya. Immanuel Ebenezer mungkin sudah berteriak-teriak memarahi Presiden Prabowo karena sebagai kepala pemerintahan belum bayar gaji para karyawan,” ujarnya.
Sebagai informasi, BPP dibentuk berdasarkan Perpres No. 121 Tahun 2022 dengan tugas utama melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi percepatan pembangunan serta pelaksanaan Otonomi Khusus di wilayah Papua.
“Negara tidak boleh abai terhadap komitmennya sendiri. Hak para ahli harus dibayar. Jika tidak, ini bisa menjadi preseden buruk bagi kepercayaan publik terhadap institusi negara,” tutup Uchok Sky. (**)