31 Juli 2025

BUMN dalam Ekonomi Pancasila: Mengembalikan Fungsi Konstitusionalnya

0
IMG-20250705-WA0009

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

 

Otoritas.co.id – “Keberhasilan dalam ekonomi berasal dari kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terus-menerus, dan nilai sejati dari ekonomi adalah kemampuan untuk menciptakan nilai tambah,” begitu fatwa ekonom Paul Samuelson. Fatwa ini sangat relevan dengan kelembagaan ekonomi Indonesia, terutama Koperasi dan BUMN, dua pilar yang seharusnya paling bertanggung jawab atas kemajuan dan kesejahteraan ekonomi bangsa.

BUMN, atau Badan Usaha Milik Negara, bukanlah sekadar aset negara. Lebih dari itu, BUMN adalah instrumen konstitusional yang ditujukan untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Tujuannya bukan untuk dikuasai pasar, apalagi dikomersialisasi. Kehadiran BUMN harus melampaui kerangka pikir sektor swasta dan korporasi, fokus pada kesejahteraan rakyat, bukan semata keuntungan.

Ironisnya, dalam praktiknya, BUMN sering diperlakukan layaknya perusahaan swasta. Mereka didorong untuk mencetak laba, membagikan dividen, bahkan didorong untuk melantai di bursa saham. Negara, dalam posisi ini, bertindak sebagai pelaku bisnis. Akibatnya, warga negara yang seharusnya dilindungi, justru berubah menjadi konsumen yang harus membayar komersial untuk kebutuhan dasar seperti listrik, air, bahan bakar, dan layanan kesehatan. Padahal, ini adalah hak dasar, bukan komoditas dagang.

Ketika layanan dasar dijual atas nama efisiensi dan profitabilitas, fungsi negara bergeser. Negara yang seharusnya menjamin hak, justru menarik keuntungan dari hak tersebut. Logika bisnis mengalahkan logika keadilan, dan konstitusi terpinggirkan oleh kalkulasi korporasi.

Narasi bahwa BUMN harus untung demi anggaran negara adalah sebuah kekeliruan fundamental. Negara seharusnya tidak menggantungkan APBN pada bisnis yang dijalankan terhadap warganya sendiri, apalagi dengan praktik monopoli, oligopoli, atau predator. Negara memiliki pajak dan cukai sebagai instrumen utama pembiayaan.

Seharusnya, BUMN berfungsi sebagai penopang keseimbangan pasar, pengendali harga, dan pengaman kebutuhan pokok warga negara, bukan malah bersaing dengan pelaku pasar dan mengambil keuntungan dari kesulitan publik.

Lebih jauh lagi, BUMN juga bukan tempat negara menumpuk utang. Kebijakan yang memaksa BUMN mengambil pinjaman besar untuk membiayai proyek-proyek negara adalah pelimpahan beban fiskal yang tidak konstitusional. Utang BUMN, terutama jika pada akhirnya ditanggung publik saat terjadi kegagalan, bukanlah utang privat. Ketika BUMN dijadikan “kendaraan fiskal” untuk menutupi defisit, itu berarti negara sedang menyembunyikan beban fiskal dan membebani masa depan warganya.

Fungsi strategis BUMN semakin kabur dengan maraknya holdingisasi dan liberalisasi. Semakin banyak BUMN dipusatkan dalam holding, semakin jauh pula kontrol warga negara terhadapnya.

Keputusan strategis tidak lagi melalui mekanisme demokrasi ekonomi, melainkan ditentukan oleh sekelompok elite manajemen yang lebih condong kepada investor daripada kepada kepentingan rakyat.

Yang lebih parah, BUMN bahkan mulai merambah sektor UMKM dan ritel. Ini berarti BUMN bersaing langsung dengan usaha kecil yang seharusnya dilindungi oleh negara. Ini bukan sinergi, melainkan dominasi yang mempersempit ruang gerak ekonomi warga negara. Ini bukan proteksi, melainkan ekspansi yang mengancam.

Dalam sistem Ekonomi Pancasila, negara tidak boleh netral. Negara wajib berpihak kepada rakyat. Ketika negara memposisikan BUMN sebagai pedagang, ia telah meninggalkan tanggung jawab ideologisnya. Kesejahteraan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Pasar, meskipun kuat, tanpa kontrol negara dapat menghancurkan keadilan, bahkan memangsa pemiliknya sendiri: warga negara.

Sudah saatnya fungsi BUMN dikembalikan ke jalur konstitusionalnya. BUMN bukan alat bisnis negara, bukan pula tempat berutang negara, melainkan alat strukturasi dan distribusi kesejahteraan. Fokus utamanya adalah menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan hidup dasar, bukan mengejar keuntungan. Negara tidak boleh menjual kembali hak-hak dasar warga negara. Hak untuk hidup layak tidak bisa dibeli dengan harga komersial.

Laba BUMN tidak ada artinya jika warga negara masih kesulitan membayar listrik, BBM, biaya kesehatan, pendidikan, perumahan, dan kebutuhan pokok lainnya. Keuntungan negara tidak dapat dibenarkan jika diperoleh dari penderitaan warganya sendiri. Sebaliknya, fungsi pelayanan publik harus jauh lebih bernilai daripada sekadar laporan keuangan yang positif. Kebahagiaan negara tidak boleh dibangun di atas penderitaan rakyatnya, dan penderitaan negara tidak boleh terjadi saat warga negaranya sejahtera.

Jika negara masih ingin memegang teguh amanat konstitusi, kita harus bersama-sama menarik kembali BUMN dari arus komersialisasi dan penyalahgunaan fiskal. BUMN seharusnya beradaptasi, berinovasi, dan mencari ide-ide cemerlang lainnya (outward looking), menjadi pemain global yang mendominasi pasar luar negeri. Namun, harus selalu diingat bahwa BUMN bukanlah milik pasar. BUMN adalah milik warga negara. Dan warga negara bukanlah konsumen; mereka adalah pemilik sah republik ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *