Abad Keserakahan: Ancaman Nyata bagi Bangsa

Penulis : Yudhie Haryono / Teoritikus Nusantara Studies
Jakarta, otoritas.co.id – Pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, pada 8 Juni 2025, yang menyebut “tidak ada masalah di lokasi tambang nikel Raja Ampat” adalah bentuk keserakahan yang merusak akal sehat. Pernyataan ini menunjukkan betapa nilai-nilai luhur bangsa telah diinjak-injak demi kepentingan segelintir pihak.
Indonesia, sebuah bangsa yang memproklamasikan “salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), justru mempraktikkan hal sebaliknya: semua demi oligarki. Konsep “keadilan sosial” dalam negara ini terkikis oleh budaya sogok dan kolusi dalam pendidikan. Pemerintah yang seharusnya menjadi “panitia kesejahteraan seluruh rakyat” justru hidup dalam budaya KKN, menjilati korporat-korporat yang merusak.
Ini adalah cerminan dari panen amoralitas dan banjir tuna etika yang melanda semua lini kehidupan berbangsa. Penjahat dan penipu beranak pinak di kursi-kursi kekuasaan, bahkan di istana yang seharusnya menjadi tempat suci bagi pemihakan nasib rakyat. Seperti yang digambarkan dalam Dharmashastra Sansekerta (31/7/2017), “akar dari semua amoralitas adalah lobha (keserakahan).”
Dalam sepuluh tahun terakhir, krisis amoralitas negara semakin merebak, menyebabkan separuh warga negara jatuh miskin, kehilangan pekerjaan, dan kehabisan tabungan. Ketimpangan nasional melebar, dan skandal-skandal korporasi paling memalukan sepanjang sejarah republik terkuak. Tata perekonomian yang direkayasa oleh oligarki dan “genk solois” ini gagal memenuhi janji-janji mereka, bahkan mengkhianati pemikiran para pendiri republik.
Apa yang terjadi di Raja Ampat, Rempang, Pulau Kabaena, Halmahera, dan Pulau Obi (dan ratusan lokasi lainnya) adalah hilir dari aliansi kejahatan antara istana dan oligarki dalam mentradisikan skandal korporasi. Ekonom peraih Nobel, Stiglitz (2006), menyebut bahwa sistem “Jokowisme” hanya menguntungkan segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, mengabaikan kesejahteraan masyarakat luas.
Kehancuran ekologis yang ditimbulkan sangat dahsyat, sementara pemasukan ke APBN sangat kecil. Pada saat yang sama, keuntungan bagi warga sekitar tidak sebanding dengan kehancuran ekosistem yang harus ditanggung: kondisi kesehatan memburuk, krisis menguat, dan fasilitas publik tidak manusiawi.
Mula dan ontologi dari semua ini berasal dari pikiran yang berbunyi: “kita buat UU/aturan yang bisa sebanyak mungkin memindahkan sumber daya (alam dan ekonomi) ke tangan penjajah (korporasi dan kleptokrasi) demi kekayaan diri, keluarga, dan kelompoknya agar berkuasa selamanya.” Mereka yang berpikir dan merealisasikan niat jahat ini adalah “genderuwo berwajah ndeso, berkaos marhen, berhati iblis, bertindak najis!”
Merekalah “sang tamak dan sang lobha.” Merekalah penyembah berhala, perusak peradaban, dan jelas anti-Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Rosner (2007), orang-orang tamak dan serakah itu:
- Tidak punya kemanusiaan sama sekali.
- Penyembah berhala.
- Penyembah kursi kuasa.
- Penyembah kekayaan.
- Pembuat perbudakan yang dipaksakan dengan sistem ekonomi.
- Pelayan dan budak kekayaan.
- Pecinta dan pengabdi berlebihan terhadap uang.
- Menghidupi kepercayaan dan keyakinan terhadap kekayaan, uang, dan kekuasaan.
- Menghalalkan segala cara: licik, curang, jahat, dan adu domba.
Singkatnya, orang yang serakah dan tamak memiliki keinginan kuat untuk memperoleh dan menyimpan lebih banyak uang, harta benda, dan kekuasaan bagi diri mereka sendiri. Ini karena mereka lebih mencintai, mempercayai, dan menaati kekayaan daripada Tuhan. Mereka anti-Tuhan, yang secara otomatis berarti anti-kemanusiaan.
Mereka yang anti-kemanusiaan mengidap penyakit sosial, karena pribadi yang serakah bukan hanya rakus, tamak, dan culas, tetapi juga pelit, kikir, sombong, angkuh, memiliki ambisi berlebihan, dan berperilaku melampaui batas perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sudah semestinya semua bisnis elite yang merugikan rakyat dan merusak ekosistem harus dibatalkan demi hukum, terutama jika hanya berargumen demi investasi dan koneksi para konglomerat. Semua yang terlibat harus diseret ke meja hijau, diadili di mahkamah rakyat, dan dihukum semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, cara bernegara, cara berpemerintahan, dan cara berdemokrasi harus tetap tunduk pada kaidah asal: salus populi suprema lex esto. Inilah negara Pancasila yang kita merdekakan, yang para pendiri republik proklamasikan.
Negara yang memberi amanah dalam pembukaan UUD 1945, agar “melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan menertibkan kehidupan rakyat Indonesia asli selama-lamanya.”
Tanpa itu, abad keserakahan (oligark), dekade ketamakan (asing-aseng-asong), dan zaman edan (perzinahan penguasa) akan semakin faktual dan menjadi kebudayaan.
Tidak ada jalan mudah untuk melawan dan menghapus abad keserakahan, tetapi jalan masih akan tetap terbuka jika kita mampu menggali kekuatan bersama, berbaris melawan, dan berjihad akbar. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa rakyat miskin tidak akan tinggal diam, dan Tuhan tidak tidur. (**)