Daulat Ekonomi dengan Fiskal Sehat

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan), Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Otoritas.co.id — “Pada fiskal yang sehat, terdapat warga-negara yang kuat. Pada APBN yang kuat, terdapat warga-negara yang bermartabat.” Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya posisi kebijakan fiskal sebagai urat nadi kedaulatan ekonomi bangsa. Dalam rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (RUUPNKS), fiskal tidak lagi dipahami semata sebagai instrumen teknokratis, melainkan alat ideologis untuk menegakkan keadilan sosial dan kemandirian ekonomi nasional.
Kebijakan fiskal yang berpihak pada rakyat menjadi refleksi moral sejauh mana negara menunaikan amanat konstitusi untuk menyejahterakan seluruh warga. Dalam kerangka ekonomi Pancasila, fiskal berfungsi sebagai penggerak utama redistribusi ekonomi dan pemerataan wilayah, bukan alat akumulasi modal bagi kelompok elit. Semakin merata kapital nasional di sebuah negara, semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan warganya.
Untuk itu, pemerintah perlu menata ulang struktur pajak agar lebih progresif, memperkuat basis penerimaan domestik, dan menutup celah kebocoran anggaran akibat korupsi birokrasi. Pajak harus dipahami bukan sebagai beban, tetapi sebagai simbol solidaritas sosial dan gotong royong ekonomi. Di sinilah kebijakan fiskal berfungsi mewujudkan keadilan ekonomi yang berkepribadian.
Selain itu, disiplin anggaran dan keseimbangan fiskal menjadi ukuran moral dan rasional dalam pengelolaan keuangan negara. Defisit berkepanjangan bukan hanya tanda lemahnya ekonomi, melainkan juga lemahnya disiplin politik anggaran. Negara yang berani memutus ketergantungan pada utang luar negeri akan menjadi negara yang berdaulat secara fiskal dan bermartabat secara politik.
Kekuatan APBN yang sehat hanya bisa dibangun melalui efisiensi penerimaan, pengendalian belanja tidak produktif, serta kebijakan penghapusan subsidi yang tidak tepat sasaran. APBN harus diarahkan untuk memberdayakan sektor riil, koperasi, dan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Dalam posisi ini, fiskal bukan sekadar urusan administrasi, tetapi politik anggaran yang berpihak pada warga produktif. Anggaran yang pro-rakyat merupakan cerminan demokrasi ekonomi yang hidup, berakar, dan berkeadilan sosial. Negara memiliki tanggung jawab sosial untuk memastikan distribusi kesejahteraan berjalan adil dan berkelanjutan.
APBN juga harus memperkuat investasi negara di bidang pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Pengeluaran publik yang adil bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan amanat konstitusi yang menegakkan keadilan substantif. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal menjadi instrumen kemanusiaan yang melindungi dan memampukan seluruh warga negara.
Selanjutnya, kredibilitas dan transparansi fiskal merupakan fondasi kepercayaan publik. Pemerintah perlu bergeser dari paradigma berbasis masukan menuju paradigma berbasis hasil — agar setiap kebijakan fiskal dapat diukur dari dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan produktivitas nasional. Fiskal harus dipandang sebagai alat transformasi sosial dan pembangunan nasional.
Secara teoritis, arah kebijakan ini sejalan dengan pandangan Gunnar Myrdal (1960) yang menempatkan fiskal sebagai sarana keadilan sosial dan kohesi nasional. Myrdal menegaskan, ketimpangan ekonomi tidak bisa dibiarkan kepada mekanisme pasar karena akan melahirkan proses kausal kumulatif yang memperlebar jurang sosial. Fiskal, katanya, harus menjadi alat integrasi nasional dan pelindung kelompok lemah.
Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Sri-Edi Swasono (2009) yang menyebut fiskal Pancasilais sebagai fiskal yang bermoral, di mana setiap rupiah dalam APBN merupakan alat pemerataan dan penguatan kedaulatan bangsa. Ketika teori Myrdal disatukan dengan nilai-nilai ekonomi Pancasila, lahirlah sistem fiskal berdaulat — tidak tunduk pada logika pasar, tetapi berdiri di atas dasar keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab.
Kebijakan fiskal dalam Undang-Undang Perekonomian Nasional harus menjadi garda depan dalam menenggelamkan sistem ekonomi pasar bebas yang telah lama merusak struktur keadilan bangsa. Pasar bebas terbukti memperlebar ketimpangan, melemahkan sektor produktif domestik, dan menempatkan negara sebagai pelayan modal global.
Karena itu, fiskal perlu ditegaskan sebagai alat pembebasan ekonomi nasional untuk mengembalikan kendali negara atas sumber daya dan arah pembangunan. UUPNKS diharapkan menjadi fondasi kokoh bagi ekonomi Pancasila — ekonomi yang adil, mandiri, dan berkepribadian.
Kini, saat yang tepat untuk menyehatkan fiskal dan memperkuat APBN demi cita-cita besar menegakkan Negara Pancasila yang berdaulat dan bermartabat. (*)