Devisa sebagai Instrumen Strategis Ekonomi Nasional

Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre), Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Otoritas.co.id — Dalam perjalanan panjang ekonomi Indonesia, kebijakan devisa selama ini sering absen dari visi ideologis yang jelas. Devisa kerap diperlakukan sebatas instrumen transaksi global tanpa muatan konstitutif dan tanpa semangat perjuangan ekonomi nasional. Kini, melalui Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (UUPNKS), pemerintah berupaya membuka babak baru dalam tata kelola devisa nasional yang lebih berdaulat, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Menurut Yudhie Haryono dan Agus Rizal, negara sedang berupaya merekonstruksi hubungan antara devisa, kedaulatan ekonomi, dan kesejahteraan warga negara. Pendekatan ini tidak hanya teknokratis dan pro-pasar, tetapi juga ideologis — menjadikan devisa sebagai alat perjuangan ekonomi nasional.
Selama beberapa dekade, pengelolaan devisa di Indonesia didominasi oleh paradigma liberal yang menempatkan pasar sebagai pengendali utama arus valuta asing. Negara hanya berperan menjaga stabilitas kurs melalui kebijakan moneter, tanpa intervensi strategis. Akibatnya, sebagian besar cadangan devisa tersimpan di luar negeri dan tidak memberikan dampak signifikan bagi sektor produktif dalam negeri.
UUPNKS hadir untuk mengoreksi ketimpangan struktural tersebut. Negara kini menegaskan haknya untuk mengatur arah penggunaan devisa secara strategis agar dapat memperkuat ekonomi nasional. Prinsip yang diusung jelas: devisa adalah bagian dari kekayaan negara yang harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Kebijakan baru ini tidak lagi menempatkan pemerintah sekadar sebagai pengawas, melainkan sebagai pengarah utama dalam menentukan alokasi devisa untuk pembiayaan pembangunan, penguatan industri ekspor, dan pengendalian utang luar negeri agar tetap produktif.
Lebih lanjut, kebijakan devisa dalam UUPNKS juga menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga, antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan lembaga ekonomi nasional lainnya. Pendekatan ini bersifat terintegrasi dan makro-strategis, menjadikan devisa bukan hanya penopang nilai tukar, tetapi juga pendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi riil.
Pemerintah juga diberi kewenangan untuk menata ulang hubungan antara devisa swasta dan devisa negara. Sektor-sektor strategis dapat diwajibkan menempatkan sebagian devisanya di dalam negeri untuk menjaga likuiditas nasional dan memperkuat neraca pembayaran. Tujuannya adalah memastikan arus modal tetap terkendali, namun tetap terbuka bagi investasi asing yang produktif.
Paradigma baru ini menempatkan devisa sebagai bagian dari politik ekonomi nasional yang memperkuat kedaulatan dan ketahanan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan tren global di mana banyak negara kini menata ulang hubungan mereka dengan pasar valuta asing guna membangun ekonomi domestik yang resilien.
Secara teoritis, arah kebijakan ini berpijak pada konsep developmental state dan economic sovereignty. Dalam paradigma ini, negara memegang peran aktif sebagai pemilik dan pengarah sumber daya strategis, termasuk devisa, untuk mencapai kemandirian ekonomi.
“Kendali atas devisa bukan sekadar urusan ekonomi, tapi juga soal legitimasi politik dan kedaulatan nasional,” tegas Yudhie dan Agus Rizal.
Pada akhirnya, pengelolaan devisa yang berdaulat melalui UUPNKS bertujuan membangun ekonomi nasional yang tangguh, berdikari, dan berkeadilan. Devisa tidak lagi sekadar angka dalam laporan cadangan internasional, tetapi menjadi energi strategis yang menopang daya tahan bangsa menghadapi tekanan global.
“Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola devisa, ekonomi kita akan terus rapuh dan mudah ditundukkan oleh kekuatan ekonomi dunia,” ujar Yudhie Haryono, mengingatkan dominasi lembaga seperti The Fed dan ECB yang sering memainkan perang moneter terhadap negara-negara berkembang.
Dengan pengelolaan yang rasional, transparan, dan berpihak pada rakyat, kebijakan ini menjadi fondasi penting menuju sistem ekonomi nasional yang mandiri dan berdaulat. Seperti disampaikan ekonom Joseph E. Stiglitz (2014),
“Devisa yang kuat akan menjadi penyangga dan pelindung ekonomi nasional dari guncangan luar dan predatori ekonomi global.”
Sebuah pesan yang menegaskan pentingnya menjadikan devisa sebagai penjaga kedaulatan dan peradaban ekonomi bangsa. (*)