Green Collateral, Manifestasi Kesaktian Pancasila dalam Ekonomi Nusantara

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) & Agus Rizal (Ekonom Univ. MH Thamrin)
Jakarta, Otoritas.co.id – Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober menjadi momentum untuk menegaskan kembali relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, khususnya di bidang ekonomi. Pertanyaannya, masihkah Pancasila sakti? Jawabannya: masih. Sebab meski berkali-kali digoyang dan hendak diganti, Pancasila tetap tegak.
Kesaktian itu, menurut Presidium Forum Negarawan Yudhie Haryono dan ekonom Universitas MH Thamrin Agus Rizal, kini harus diwujudkan dalam bentuk nyata: sistem ekonomi Pancasila. Sistem ini hadir sebagai penolakan terhadap liberalisme yang menempatkan warga negara hanya sebagai objek pasar, sekaligus menghindari etatisme yang menekan inisiatif rakyat. Ekonomi Pancasila berdiri di atas gotong royong, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Salah satu wujud konkret gagasan ini adalah green collateral – jaminan ekonomi hijau berbasis rempah dan herbal. Rempah dan herbal, sebagai DNA asli Nusantara yang sejak berabad-abad lalu diperebutkan dunia, dapat dijadikan instrumen strategis dalam pembiayaan pembangunan. Dengan cara ini, bangsa tidak lagi bergantung pada utang luar negeri, tetapi menggunakan kekayaan hayati sendiri sebagai jaminan kedaulatan ekonomi.
“Rempah dan herbal bukan sekadar komoditas dagang, melainkan instrumen keuangan, alat kedaulatan, dan sumber martabat negara,” tegas Yudhie.
Konsep ini, lanjutnya, sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melalui green collateral, tanah dan sumber daya warga negara menjadi basis produksi dan kesejahteraan, bukan objek gadai asing.
Secara praktis, implementasi green collateral bisa diwujudkan lewat pembiayaan hijau berbasis koperasi dan BUMN strategis. Instrumen seperti obligasi hijau berbasis rempah, dana abadi herbal, hingga cadangan devisa yang ditopang komoditas ini dapat memperkuat fiskal nasional tanpa jebakan utang kolonialisme gaya baru.
Secara geopolitik, strategi ini juga mempertegas posisi Indonesia di tengah pergeseran ekonomi dunia. Saat banyak negara mencari alternatif energi, pangan, dan kesehatan berkelanjutan, Indonesia justru memiliki modal historis dan biodiversitas yang diakui dunia sejak era kolonial.
Karena itu, diperlukan badan negara khusus untuk mengelola rempah dan herbal. Badan ini akan memastikan kualitas global, mengatur perdagangan, sekaligus menjadikan Indonesia pusat referensi dunia—sebagai megabio nation.
Selain itu, penerapan Warehouse Receipt System (WRS) pada rempah dan herbal dinilai krusial. Sistem ini memungkinkan petani menyimpan hasil panen di gudang bersertifikat, mendapatkan resi yang diakui perbankan sebagai jaminan pembiayaan, serta menunda penjualan hingga harga lebih menguntungkan.
“Dengan green collateral, Pancasila tidak hanya menjadi slogan, tetapi nyata hadir dalam sistem ekonomi yang berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” ujar Agus Rizal.
Pada akhirnya, menjadikan rempah dan herbal sebagai green collateral adalah kesaktian sejati Pancasila dalam ekonomi. Warisan Nusantara itu menjadi pilar kedaulatan, sekaligus membuka jalan menuju peradaban baru yang dipimpin oleh kekuatan asli bangsa.