Rusak Lingkungan, Elite Politik dan Purnawirawan Polisi Terlibat Bisnis Tambang Nikel di Kabaena
Sulawesi Tenggara, otoritas.co.id — Pulau Kabaena yang dikenal sebagai pulau kecil dengan kekayaan laut dan hutan tropis kini menghadapi krisis lingkungan serius. Aktivitas tambang nikel di wilayah ini merusak ekosistem laut, menghancurkan hutan, hingga menimbulkan dampak kesehatan bagi warga.
Nelayan Desa Talaga Besar, La Ode, mengungkapkan kesulitan hidup yang semakin berat. “Kalau dulu kami bisa melaut hanya sebentar sudah dapat ikan banyak. Sekarang, sehari penuh di laut pun pulang sering tanpa hasil,” ujarnya, Jumat (5/9/2025).
Hasil riset terbaru Walhi Sultra dan Satya Bumi menunjukkan adanya keterlibatan sejumlah elite politik dan aparat dalam bisnis tambang nikel di Kabaena.
Dua perusahaan besar, PT Arga Morini Indah (AMI) dan PT Arga Morini Indotama (Amindo), dipimpin oleh Achmad Fachruz Zaman, mantan Direktur Direktorat Samapta Polri.
Kedua perusahaan tersebut memiliki hubungan bisnis dengan Arif Kurniawan, yang dikenal dekat dengan Arinta Nila Hapsari, istri Gubernur Sultra Andi Sumangerukka, kader Partai Gerindra. Arif juga tercatat sebagai direktur di PT Tribhuwana Sukses Mandiri, perusahaan di mana Arinta menjadi pemegang saham.
Dalam debat Pilgub 2024, Andi Sumangerukka bahkan mengakui kepemilikan tambang melalui PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS).
“Di Sultra, kami menemukan pola keterlibatan aparat nonaktif hingga keluarga pejabat aktif dalam perusahaan tambang. Ini bentuk nyata konflik kepentingan,” kata Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.
Pulau kecil ini kini dijejali 15 perusahaan tambang dengan total konsesi mencapai 37.894 hektare. Beberapa konsesi bahkan tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung.
Data Hansen mencatat, sejak 2001–2024, PT AMI telah membuka hutan seluas 506,55 hektare, sementara PT Amindo merambah 194,51 hektare.
Kondisi ini menyebabkan irigasi sawah tercemar lumpur, hasil panen gagal, serta menurunnya produktivitas nelayan.
Yang lebih mengkhawatirkan, laporan Satya Bumi menemukan kadar nikel dalam urin warga Kabaena mencapai 4,77–36,07 µg/L, dengan rata-rata 16,65 µg/L. Angka ini 5–30 kali lebih tinggi dari populasi normal.
Paparan nikel dapat memicu stres oksidatif, kerusakan DNA, inflamasi sistemik, hingga meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan kanker.
“Ini bukan sekadar krisis ekologi. Ini sudah krisis kesehatan publik,” tegas Salma Inaz Firdaus, juru kampanye Satya Bumi.
Di sisi lain, pejabat pemerintah terkesan lepas tangan. Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sultra, Muhammad Hisbullah Idris, menyatakan pengawasan kini diambil alih oleh pemerintah pusat. Sementara itu, pejabat DLH Sultra, Ibnu Hendro Prasetianto, hanya menyebut adanya sanksi administratif tanpa menjelaskan detail perusahaan yang disanksi.
Walhi dan Satya Bumi mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap izin usaha pertambangan (IUP) di Kabaena, mencabut seluruh izin tambang, meninjau kembali Pasal 162 UU Minerba 2020 yang kerap dipakai mengkriminalisasi warga, serta membuka revisi RTRW Sultra secara transparan.
“Kalau akar masalahnya, yakni IUP, tidak dicabut, maka Kabaena akan terus hancur,” tegas Gian Purnamasari, staf advokasi Walhi Sultra.
Sementara itu, Pulau Kabaena kini menjadi potret nyata konflik sumber daya alam di Indonesia: pulau kecil yang seharusnya dilindungi justru dieksploitasi habis-habisan oleh segelintir elite. Laut yang rusak, hutan gundul, warga sakit, sementara negara tak kunjung hadir memberi perlindungan. (**)
