Resensi Buku: The Great Divide – Kritik Joseph Stiglitz atas Ketimpangan Global

Oleh: Yudhie Haryono | Ekonom Pancasila
Judul buku: The Great Divide, Unequal Societies and What We Can Do About Them
Penulis: Joseph E. Stiglitz
Penerbit: W. W. Norton & Company, 2016
Bahasa: Inggris
Tahun Terbit: April 2016
ISBN-13: 978-1511321112
Tebal: 466 halaman, Paperback
Harga: Rp200.000
Setelah sebelumnya membedah pemikiran JS Furnivall dalam buku Ekonomi Majemuk, kali ini Kelas Jenius akan menelaah karya Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel yang dikenal tajam dalam mengkritisi neoliberalisme dan dampaknya terhadap ketimpangan sosial-ekonomi.
Pemikiran Stiglitz penting untuk dicermati, terutama bagi Indonesia yang selama puluhan tahun mengadopsi resep neoliberal, namun hasilnya justru melahirkan kemelaratan dan jurang ketidakadilan.
Potret Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia
Data per Maret 2024 menunjukkan, dengan garis kemiskinan Rp582.932 per kapita per bulan, terdapat 25,22 juta orang atau 9,03% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Komponen garis kemiskinan terdiri dari Rp433.906 untuk kebutuhan makanan dan Rp149.026 untuk non-makanan.
Sementara itu, gini ratio nasional pada September 2024 mencapai 0,381—angka yang menunjukkan ketimpangan cukup tinggi. Ketimpangan lebih besar di perkotaan (0,402) dibanding perdesaan (0,308). Distribusi pengeluaran kelompok 40% terbawah hanya 18,41%, dengan rincian 17,44% di kota dan 21,39% di desa.
Situasi ini ironis, mengingat kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah.
Kritik Utama Stiglitz terhadap Neoliberalisme
Dalam buku The Great Divide, Stiglitz membongkar akar persoalan ketimpangan global yang relevan bagi Indonesia. Beberapa poin penting di antaranya:
1. Pasar Tidak Selalu Efisien
Stiglitz menolak anggapan ekonomi neoklasik bahwa pasar selalu rasional. Menurutnya, manusia memiliki keterbatasan rasionalitas dan pasar sering kali gagal.
2. Peran Negara Sangat Penting
Pemerintah wajib hadir mengoreksi kegagalan pasar, meski dengan catatan: jika dikuasai oleh elite korup, intervensi negara justru bisa salah arah.
3. Kritik terhadap Hiper Globalisasi
Globalisasi yang tidak diatur memperlebar ketimpangan. Ia menuntut adanya regulasi internasional agar manfaat globalisasi terbagi adil.
4. IMF sebagai Resep Gagal
IMF dianggap arogan dan merusak ekonomi negara berkembang. Resep mereka justru menjerumuskan pasien ke jurang resesi bahkan depresi.
Tiga Diagnosa Besar Stiglitz
Dalam bukunya, Stiglitz menyoroti tiga ilusi besar kapitalisme modern:
Ketimpangan Bukan Takdir
Ketimpangan lahir dari kebijakan politik—deregulasi keuangan, pajak rendah bagi orang kaya, serta perlindungan oligarki.
Trickle Down Effect adalah Mitos
Kekayaan tidak pernah “menetes ke bawah”. Ia berhenti di lingkaran elite, melemahkan konsumsi, mempersempit lapangan kerja, dan memicu krisis berulang.
Rent Seeking sebagai Biang Krisis
Industri besar memanfaatkan regulasi untuk keuntungan sepihak: memperpanjang paten, memperkuat hak cipta, hingga menciptakan instrumen spekulatif tanpa produktivitas riil.
RELEVANSI BAGI INDONESIA
Gagasan Stiglitz memberi pelajaran bahwa neoliberalisme terbukti gagal menciptakan keadilan. Justru sebaliknya, ia memperkaya segelintir elite sambil memiskinkan mayoritas rakyat.
Kini saatnya Indonesia melakukan “tobat melarat”—berani meninggalkan rezim neoliberalisme dan membangun sistem ekonomi yang berkeadilan sosial, sesuai amanat konstitusi.