17 Agustus 2025

Dari Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo: PANCASILA DAN JALAN TERJAL KEDAULATAN EKONOMI

0
IMG-20250817-WA0033

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) dan Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

 

OTORITAS.co.id – Agustus itu bulan ke delapan. Dengan simbol angka delapan, Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, menyebut “delapan agenda prioritas pembangunan nasional: ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis, pendidikan bermutu, pelayanan kesehatan berkwalitas, penguatan koperasi, penguatan pertahanan, percepatan investasi.”

Tentu, pidato ini menjadi momentum politik penting untuk kita. Pidato yang menegaskan kembali arah negara-bangsa. Dengan nada tegas, Presiden Prabowo menyatakan bahwa kemerdekaan sejati bukanlah sekadar simbol atau seremoni, melainkan terbebas dari kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Pernyataan tersebut merefleksikan amanat Pembukaan UUD 1945 dan ideologi Pancasila yang menempatkan keadilan sosial sebagai metoda sekaligus cita-cita serta tujuan akhir pembangunan nasional.

Ingat, kemerdekaan paling sulit itu kemerdekaan ekonomi. Sebab pertempuran dan peperangan ekonomi itu abadi. Lebih sulit lagi memiliki “kedaulatan ekonomi.” Sebab, ia satu dari trisakti yang harus terus kita pertahankan: berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan.

Apresiasi patut diberikan pada keberanian Presiden Prabowo menekankan kemandirian pangan sebagai pondasi kedaulatan ekonomi. Surplus beras nasional lebih dari 4 juta ton dan ekspor jagung diproyeksikan sebagai capaian besar. Dalam kerangka ekonomi politik Pancasila, keberhasilan tersebut tidak hanya sekadar angka produksi, melainkan simbol berdikari—bahwa negara-bangsa yang mampu memberi makan warganya sendiri memiliki posisi lebih kuat dalam menentukan arah kebijakan tanpa tekanan asing.

Langkah efisiensi anggaran negara hingga Rp300 triliun juga menegaskan komitmen Presiden Prabowo terhadap tata kelola yang bersih. Pemangkasan pemborosan dari pos perjalanan dinas hingga alat tulis kantor, dan pengalihan dana tersebut ke program produktif, menunjukkan orientasi kebijakan yang berpihak pada warga-negara. Dari sudut pandang ideologis, tindakan ini selaras dengan prinsip keadilan distributif yang menjadi inti dari Pancasila.

Namun, terdapat sejumlah catatan yang tidak bisa diabaikan. Klaim surplus pangan belum sepenuhnya menjawab persoalan harga kebutuhan pokok yang masih bergejolak. Kedaulatan pangan seharusnya bukan hanya diukur dari produksi nasional, tetapi juga dari akses dan keterjangkauan bagi seluruh warga negara. Bila harga tetap tinggi, maka esensi keadilan sosial sebagai roh Pancasila masih belum terwujud sepenuhnya.

Hal serupa tampak pada capaian pertumbuhan ekonomi 5,12% di kuartal II 2025. Angka ini terdengar impresif, tetapi tidak otomatis bermakna bagi peningkatan daya beli mayoritas masyarakat. Dalam perspektif ideologi Pancasila, pertumbuhan ekonomi harus bersifat inklusif, memastikan bahwa manfaatnya dirasakan oleh warga negara biasa, bukan hanya segelintir kelompok yang berada di puncak piramida ekonomi. Mereka yang miskin, paria, cacat dan kalah harus lebih diprioritaskan.

Presiden Prabowo juga menyinggung ancaman “net outflow of national wealth” atau aliran kekayaan bangsa ke luar negeri. Pernyataan ini penting sebagai alarm nasional. Meski demikian, solusi yang disampaikan masih bersifat normatif: efisiensi, transparansi, dan sinergi. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan kebijakan struktural yang lebih konkret, seperti reformasi sistem perpajakan, penguatan industri hilir, serta penegakan hukum terhadap praktik kapitalisme rente yang bertentangan dengan nilai keadilan sosial (restrukturalisasi, nasionalisasi, reformasi dan redistribusi).

Gagasan “Indonesia Incorporated” yang digagas Presiden Prabowo mengandung semangat gotong royong yang sesuai dengan nilai Pancasila. Namun, tanpa instrumen implementasi yang jelas, gagasan tersebut berisiko hanya menjadi retorika manajerial. Kedaulatan ekonomi tidak bisa hanya diandalkan pada sinergi simbolik, melainkan harus diwujudkan dalam kebijakan yang menutup celah monopoli, memperkuat sektor riil, dan melindungi warga negara dari praktik serakahnomics.

Pada agenda ke delapan yang menekankan investasi sangat perlu diperhatikan. Jangan sampai hanya menjadi investasi asing yang menjajah, menguasasi dan ilusi. Tanpa kinerja yang ketat dan konstitusional maka invstasi hanya akan menghasilkan interfensi, infiltrasi, inefesiensi, instabilisasi, invasi. Suatu perisitiwa yang sudah terjadi selama beberapa dekade di kita dan berlangsung juga di banyak negara.

Di atas segalanya, pidato kenegaraan Presiden Prabowo menghadirkan kombinasi apresiasi dan evaluasi dari kita semua agar menyempurna. Ia berhasil menghidupkan kembali semangat ideologis tentang kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial, tetapi publik menunggu konsistensi implementasi di lapangan. Publik ingin segera keluar dari krisis ekonomi warisan pemerintahan sebelumnya. Krisis yang membuat mereka teriak: Indonesia tidak baik-baik saja.

Ideologi Pancasila menuntut praksis, bukan sekadar wacana: bukan sekedar pidato dan omon-omon, tetapi realisasi kongkrit. Tanpa kebijakan yang terukur dan berani, pidato tersebut hanya akan menjadi gema di ruang sidang, bukan perubahan nyata dalam kehidupan warga negara. Jika lebih sejahtera, adil dan sentosa maka pancasila ada. Tanpa itu, pancasila hanya jadi pajangan dan gambar-gambar di buku saja.

Terlebih, kunci dan subtansi ekopol Pancasila itu adalah, (1)Ketuhanan yang melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan; (2)Kemanusiaan yang melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan; (3)Kebersatuan yang melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan; (4)Kepemimpinan yang melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan; (5)Keadilan yang melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan. Semoga mestakung.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *