15 Juli 2025

Takdir Pedih Negeri Nusantara: Menggugat Jalan Sunyi Indonesia

0
IMG-20250713-WA0040

Oleh: Yudhie Haryono – Presidium Forum Negarawan

 

Otoritas.co.id – Denys Lombard, sejarawan kenamaan Prancis, pernah mengemukakan tesis yang menggugah: “Tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti halnya Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.”

Ungkapan ini mencerminkan betapa Nusantara adalah simpul agung peradaban dunia. Kini, imajinasi atas kejayaan itu mulai menggeliat kembali. Cerita pendek dan novel-novel bertema kebesaran nusantara bermunculan. Imajinasi tentang Atlantis dan masa keemasan Lemuria kembali hidup dalam ruang kesusastraan dan pemikiran.

Namun, muncul pertanyaan krusial: apakah generasi muda kita benar-benar memahami Nusantara?

Nusantara, sebuah istilah dari bahasa Kawi yang berarti “pulau-pulau yang terpisahkan”, sejatinya adalah konsep geopolitik kepulauan yang luas. Dalam naskah Negarakertagama, istilah ini menggambarkan wilayah kekuasaan Majapahit yang mencakup sebagian besar Asia Tenggara—satu jejak nyata kejayaan Indonesia purba.

Sayangnya, hari ini keadaan Nusantara jauh dari baik-baik saja.

Dalam sunyi krisis multidimensi, di tengah masyarakat yang terfragmentasi dan kemiskinan struktural, kita menyaksikan tragedi diam-diam: banyak anak bangsa terjerembab dalam kesepian, bahkan bunuh diri, tanpa sempat mengabarkan keresahan mereka. Di saat yang sama, buku dan kalimat-kalimat penuh hikmah yang seharusnya menyelamatkan, tak terbaca. Mantra dan mukjizat seakan tak lagi hidup di bumi ini.

Indonesia ibarat kitab suci: tebal, rumit, sakral, namun tidak mudah dipahami dalam sekali baca. Bahkan, kitab suci baru bernama Kapitalisme Global dengan teologi Neoliberalisme kini tengah mendominasi kesadaran dunia.

Lewat teknologi informasi dan media sosial yang nihil nilai-nilai purba (moral, etika, kemanusiaan, dan kesemestaan), ideologi ini menyebar masif dengan membawa lima “ajaran”: keserakahan, ketamakan, kerakusan, ketidakterbatasan, dan ketidakadilan.

Tak bisa dipungkiri, banyak warga negara kita kini hidup dan berpikir dengan “kitab” tersebut. Sepuluh tahun terakhir, pengaruhnya sangat terasa—mendesak keluar nilai-nilai luhur Pancasila dan membelokkan arah Indonesia dari kodrat nusantaranya.

Kini, di tengah momentum pemerintahan baru, kita punya peluang untuk menemukan arus balik nusantara. Sebuah gerakan kultural dan struktural untuk meneguhkan kembali kedaulatan Indonesia.

Kita butuh mencetak jutaan patriot Pancasila. Menyemai kurikulum nusantara berbasis peradaban atlantik. Menghidupkan kembali nilai-nilai luhur bangsa yang nyaris terlupakan.

Tanpa itu semua, kita hanya akan menjadi bagian dari mereka, para pemuja pasar dan laba, seperti yang telah ditakutkan para pendiri republik.

Sudah waktunya untuk berkata: “Indonesia, pulanglah pada takdirmu sendiri.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *