31 Juli 2025

Membangun Peradaban Pancasila: Melawan Fundamentalisme dan Warisan Kolonial

0
IMG-20250705-WA0009

Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre

 

OTORITAS.co.id – Saya pernah ditanya Asti tentang apa itu peradaban Pancasila. Jawabannya adalah trias revolusi: revolusi mental, nalar, dan konstitusional. Ini merupakan kulminasi dari menanam, memanen, dan menabung yang harus dikerjakan secara simultan, berkelanjutan, dan menjadi tradisi.

Sebagai negara pascakolonial yang telah mengalami penjarahan selama miliaran hari, kita mewarisi tiga hal yang perlu diatasi:

  • Mental kolonial: Sifat inlander (rendah diri) dan pendendam.
  • Nalar kolonial: Pola pikir fasis, feodal, dan fundamentalis.
  • Konstitusi kolonial: Struktur yang oligarkis, kartelis, kleptokratis, dan predatoris.

Ketiga warisan ini pada akhirnya menciptakan 5K: kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kesakitan, dan ketimpangan. Oleh karena itu, kita membutuhkan solusi, jalan, obat, dan subjek yang tepat. Semua ini hanya dapat diwujudkan oleh manusia Pancasila yang berideologi Pancasila, demi menciptakan Indonesia Raya, Nusantara, dan peradaban Atlantik.

Musuh Peradaban: Fundamentalisme Agama dan Pasar

Musuh utama peradaban Pancasila adalah ide dan praktik fundamentalisme. Di negara-negara liberal, musuhnya adalah fundamentalisme agama. Namun, di negara-negara pascakolonial seperti Indonesia, musuhnya juga termasuk fundamentalisme pasar.

Di Indonesia, kedua fundamentalisme ini saling bersetubuh. Persatuan dua fundamentalisme ini melahirkan teror yang menghilangkan perdamaian dan digantikan oleh kebencian, kejahiliahan, serta peperangan.

  •  Fundamentalisme agama menciptakan identitas biner: “aku” versus “kamu” atau “kita” versus “mereka”. Penganut fundamentalisme agama meyakini bahwa agama (Tuhannya) berada di atas ssegalanya
  • Fundamentalisme pasar menciptakan identitas brutal-dominatif: oligarkis, kartelis, kleptokratis, dan predatoris. Penganut fundamentalisme pasar meyakini bahwa pasar berada di atas segalanya.

Meskipun globalisasi meyakini setiap orang memiliki hak yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi, pada praktiknya, paham ini menjelma menjadi neoliberalisasi. Pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang mendikte mayoritas masyarakat dan negara lain. Kebebasan, yang seharusnya menjadi berkah dan alat memerdekakan, justru menjelma menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai kue politik dan ekonomi demi kepentingan pribadi.

Kedua fundamentalisme ini pada akhirnya melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru, memicu kemarahan, kebencian, serta memberikan alasan bagi lahirnya teror dan kekacauan.

Kita mungkin marah atas tumbuh dan berkembangnya dua fundamentalisme ini, namun kemarahan saja tidak cukup. Kita harus bersikap jenius. Saat Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, kita harus melakukan pekerjaan yang jauh lebih besar dari sekadar marah dan pasrah. Kita harus menikam mati tepat di jantungnya, dua jenis fundamentalisme yang sedang menguat sebagai kanker peradaban. Ini harus segera dilakukan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *