Yang Terus Absen, Namun Abadi dalam Ingatan

Oleh: Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre
Rasanya baru kemarin, meski sesungguhnya sudah 40 tahun berlalu. Engkau menyanyikan kidung berjudul “Tuhan” begitu lembut dan menyayat pikiranku:
Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa/Tempat aku memuja/Dengan segala doa/Aku jauh/Engkau jauh/Aku dekat/Engkau dekat/Hati adalah cermin/Tempat pahala dosa bertaruh dan bermain/
Terus saja ia kirimkan “sinetron bacin” di dalam hari-hariku. Para pejabat yang sangat jahat. Para presiden bertindak petruk dan sengkuni. Ia tak mendengar ratapku. Ia absen dalam peperangan dan perlawananku. Dan, engkau hanya menyanyikannya. Tanpa tahu berapa nomor hapeNya untuk kita bertanya, untuk kita tertawa. Ia adalah engkau dan engkau adalah ia: menerkamku dalam rindu bertalu-talu. Buku-buku yang bermutu utuh tak disentuh.
Lalu, aku menulis untuk AQB: untukmu yang bukan untukku. Herannya, tiba-tiba hujan mendera. Tubuh yang baru meluruh seperti hanyut melangut. Membuka WAG, ada kalimat, “telah kembali ke hadiran bapa di syorga yang mulia Lala.” Ia yang sudah sengaja tidak bersama dalam barisan perlawanan, tetapi tercetak tebal dalam ingatan.
Tuhan, aku menyebut diriku sendiri. Rasanya baru kemarin kutemui engkau di kota masa dewasa. Kuhadiahi buku seperti janjiku. Untukmu, perawan tua yang memilih menikmati sisa umur sambil semedi.
Mengingatmu sambil ngeteh sore di kolam renang yang berair karena hujan, aku menyanyi untukmu. Aku kuat untuk tidak melayat. Lagunya Iwan Fals berjudul “belum ada judul”:
Engkau yang hatinya lembut tetapi menuntut. Engkau yang menyinta tetapi tak sudi bersama. Engkau yang bertani tapi panennya doa. Engkau yang jauh sekali tinggal di sekitar candi, tetapi dekat di duka hati.
Pernah kita sama-sama susah/Terperangkap di dingin malam/Terjerumus dalam lubang jalanan/Digilas kaki sang waktu yang sombong/Terjerat mimpi yang indah/Lelap
Pernah kita sama-sama rasakan/Panasnya mentari hanguskan hati/Sampai saat kita nyaris tak percaya/Bahwa roda nasib memang berputar/Kekasih masih ingatkah/Kau
Sementara hari terus berganti/Engkau pergi dengan dendam membara/Di hati/Cukup lama aku jalan sendiri/Tanpa kasih yang sanggup mengerti/Hingga saat kita jumpa hari ini/Tajamnya matamu tikam jiwaku/Kau tampar bangkitkan aku/Kasih
Sementara hari terus berganti, hujan, pilpres, kebohongan, dan banjir ilusi plus fatamorgana. Saat kampus belum mulai, engkau pergi lagi. Padahal kumimpi salah satu dosennya adalah engkau. Tapi, zaman sering kejam pada hamba. Cuma, ya bagaimana lagi. Ngungun. Getun.
Padahal, di awal kita kenal, engkau adalah bahasa cahaya; dewi khayangan penuh energi; bidadari surplus keindahan ditulis tangan semesta, di atas lembaran cahaya kejeniusan alam raya. Tapi, lima belas tahun terakhir kamu jadi mak lampir: pendendam, peminum darah, dan pemuja uang. Aduh. Padahal, uang itu sumber segala bencana; darah itu kegelapan, dan dendam itu api pelahap segala kebaikan.(*)