7 Alasan Mendesak untuk Kembali ke UUD 1945 Asli

Oleh: M. Hatta Taliwang
OTORITAS.co.id – Amandemen UUD 1945 telah membawa berbagai dampak signifikan pada sistem kenegaraan Indonesia. Banyak pihak berpendapat bahwa perubahan ini justru menjauhkan bangsa dari cita-cita luhur para pendiri negara. Berikut adalah tujuh alasan mendesak mengapa kita perlu mempertimbangkan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli:
1. Melemahnya Kontrol Terhadap Presiden
Amandemen UUD 1945 menurunkan derajat MPR RI dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara. Akibatnya, kontrol terhadap presiden menjadi sangat minim, bahkan nyaris tidak ada. Padahal, kepala desa saja memiliki lembaga pengawas. Kondisi ini menjelaskan mengapa presiden seolah bisa bertindak sesuka hati, membuat negara terasa seperti milik pribadi presiden. Presiden dapat mengeluarkan Perppu tanpa kegentingan yang memaksa, atau memanfaatkan koalisi besar untuk kepentingan subjektif, seperti membangun dinasti atau menggolkan undang-undang pesanan pemodal, bahkan dengan menyandera pimpinan partai yang memiliki masalah hukum melalui KPK.
2. Hilangnya GBHN dan Arah Pembangunan yang Tidak Jelas
Penurunan derajat MPR juga menghilangkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tanpa GBHN, arah pembangunan menjadi tidak terarah dan terkesan “suka-suka”. Prioritas pembangunan, seperti infrastruktur, tiba-tiba menjadi primadona, bahkan terkesan mengikuti arah Jalur Sutra Tiongkok. Ini menjebak Indonesia dalam lingkaran utang besar dan investasi yang ugal-ugalan, seperti di Rempang, IKN, dan Kereta Cepat.
Dampak selanjutnya adalah membengkaknya utang negara yang melampaui kemampuan rasional untuk membayar cicilan dan bunganya. Misbakhun, anggota Komisi XI DPR RI, memperkirakan total utang negara mencapai Rp 20.750 triliun hingga pertengahan 2023, meliputi utang negara, BUMN, dan kewajiban pembayaran pensiun ASN serta TNI-Polri. Menurut Jusuf Kalla, cicilan dan bunga utang negara saja mencapai sekitar Rp 1.000 triliun setiap tahunnya. Kondisi ini menimbulkan risiko kebangkrutan negara. Jika kita tidak kembali ke sistem pengelolaan negara sesuai UUD 1945 asli, khususnya Pasal 33, dikhawatirkan Indonesia akan berantakan karena beban utang yang melebihi 100% dari PDB.
3. Pergeseran Sistem Politik dari Demokrasi Perwakilan ke Demokrasi Langsung
Perubahan sistem politik dari demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung, terutama dalam pemilihan presiden, telah menunjukkan berbagai kelemahan dan keburukan. Kita menyaksikan kecurangan masif, saling fitnah, pemborosan, penyuapan, dan perpecahan selama Pilpres. Sistem Pilpres langsung juga menghilangkan sistem perwakilan musyawarah, yang jelas melenceng dari Sila Keempat Pancasila.
Hanya partai politik yang boleh mencalonkan presiden/wakil presiden, tanpa melibatkan Utusan Daerah dan Utusan Golongan seperti yang diatur dalam UUD 1945 Asli. Partai cenderung bersifat transaksional, sehingga melahirkan capres/cawapres hasil transaksi. Akibatnya, tokoh-tokoh bangsa berkualitas tidak terjaring, dan bahkan calon yang baik bisa dijegal oleh kekuatan pemodal.
Biaya Pilpres langsung bukan hanya ditanggung negara, tetapi juga partai pengusung dan pribadi capres. Ini membuat capres sangat bergantung pada investor politik, dengan segala risiko dan konsekuensinya. Biaya sosial dan psikologis juga sangat mahal. Suasana kampanye yang penuh hoaks dan fitnah merusak hubungan sosial masyarakat, menyebabkan kerukunan nasional dan sosial terkoyak, serta menghancurkan Sila Ketiga Pancasila. Daftar pemilih pun rentan direkayasa dengan KTP palsu dalam jumlah fantastis.
Sistem Pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi oleh berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa, terutama jika berkonspirasi dengan oligarki kapital untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan. Lembaga survei, akademisi, intelijen, aparat keamanan, birokrat, parpol, aparat hukum, LSM, ormas, media massa mainstream, KPU, dan buzzer bisa dilibatkan dalam konspirasi ini dengan iming-iming uang, janji jabatan, permainan pajak, atau permainan hukum. Aparat keamanan, hukum, dan birokrat yang seharusnya netral, seringkali terbawa arus godaan-godaan tersebut. Belum lagi masalah penyuapan masif terhadap rakyat dan balas budi kepada cukong yang membiayai, dalam bentuk kebijakan setelah berkuasa.
4. Masuknya Azas Kapitalisme Liberalisme dalam Pasal 33 UUD 1945
Masuknya asas kapitalisme liberalisme (asas efisiensi) dalam Pasal 33 UUD 1945 telah melegalkan praktik ekonomi kapitalis brutal. Ini terlihat dari privatisasi BUMN, peningkatan kesenjangan ekonomi, penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh segelintir cukong, terpuruknya pribumi, dan disahkannya UU Omnibuslaw.
5. Amandemen UUD 1945 yang Tergesa-gesa dan Tanpa Grand Design
Amandemen UUD 1945 dilakukan secara tergesa-gesa di tengah puncak krisis ekonomi dan politik (1999-2002), sehingga terkesan dibuat asal-asalan tanpa naskah akademik dan Grand Design. Perubahan ini bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan abstraksi cita-cita kemerdekaan. Amandemen ini juga mengingkari frasa “Indonesia memiliki sistem demokrasi sendiri” dan frasa yang dirumuskan oleh Prof. Soepomo yang menyatakan “MPR adalah Penjelmaan Rakyat”.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, perubahan ayat pada UUD 1945 asli saat diamandemen mencapai 300%, yang berarti telah dibuat konstitusi baru. Prof. Kaelan menyatakan bahwa perubahan UUD 1945 hingga 97% sama dengan penggantian UUD 1945. Sementara Prof. Dr. Maria Farida Indrati menyatakan bahwa sesungguhnya Indonesia telah membuat Konstitusi baru yang bertentangan dengan pemikiran para founding fathers and mothers. Ini menimbulkan pertanyaan besar, benarkah pejabat dan aparat saat pelantikan masih bersumpah atas nama UUD 1945?
6. Terkikisnya Nilai Budaya Nasional
Berkembangnya nilai-nilai budaya liberal (individualis, materialis, konsumtif, hedonis, pamerisme/ekshibisionisme) telah mengguncang budaya Indonesia. Terjadi pengabaian terhadap nilai nasionalisme, ketahanan nasional, nilai kekeluargaan, dan nilai gotong royong. Akibatnya, manusia Indonesia kehilangan jati dirinya.
7. Potensi Bangsa yang Tidak Terkelola dengan Baik
Banyak bibit-bibit bangsa yang cemerlang sayangnya seringkali tidak terurus dengan baik di “Kebun Indonesia”. Banyak orang pintar tidak berada pada tempatnya, banyak kader bangsa tidak pada posisi yang benar, dan banyak orang yang kurang bermutu justru menempati posisi penting. Inilah urgensi mengapa sistem kenegaraan, sistem kepartaian, dan sistem birokrasi kita harus dibenahi.
Individu-individu banyak yang sukses, bahkan menjadi kaya raya atau super kaya, profesor, doktor, jenderal, dan lainnya. Namun, bagaimana dengan output kolektif kita sebagai bangsa dan negara? Cukup bandingkan dengan Malaysia dari berbagai segi. Padahal, dalam banyak hal, Malaysia awalnya belajar dari Indonesia.
Semua ini diduga bukan semata-mata karena pemimpin yang buruk, tetapi juga karena sistem kenegaraan kita yang buruk. Padahal, potensi Indonesia untuk menjadi bangsa terhormat dan hebat sangat besar, mengingat potensi SDA dan SDM yang luar biasa. Sayangnya, banyak bibit bangsa yang bagus hanya berkontribusi maksimal untuk diri sendiri, keluarga, atau perusahaan, tetapi tidak untuk negara. Bahkan, tidak sedikit yang berkontribusi negatif dengan melakukan korupsi berjamaah, kolusi, nepotisme, bahkan menjadi agen kepentingan asing. Oleh karena itu, menjadi sangat urgen bagi kita untuk kembali ke sistem yang diwariskan para pendiri negara, yaitu UUD 1945 yang asli.
Jakarta, 20 Mei 2024